Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Pemerhati Sejarah Beri Catatan Penting

Simpulindo.com, – Usaha pemerintah Indonesia saat ini, melalui kementrian kebudayaan untuk menyusun ulang atau merevisi Sejarah Nasional Indonesia merupakan langkah strategis yang patut diapresiasi. Sejarah sebagai ilmu memang harus terus menerus disegarkan dengan data-data, pendekatan, dan temuan-temuan ilmiah terbaru. Sekiranya begitulah sifat ilmu pengetahuan, tidak boleh statis, harus terus bertumbuh, dan diperbaharui seturut bukti-bukti yang lebih faktual. Karena itu, revisi sejarah nasional Indonesia merupakan sebuah keharusan.

Namun, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah saat ini dibutuhkan narasi sejarah yang tidak hanya akurat dan faktual secara ilmiah, tetapi juga inklusif dan relevan dengan semangat zaman. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran terhadap identitas lokal dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, revisi sejarah harus bisa memberi ruang terhadap narasi lokal dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan.

Sejarah Nasional Indonesia yang ada saat ini masih bersifat sempit, dengan penekanan kuat pada peran elit-elit politik tertentu dan wilayah-wilayah dominan, terutama Jawa (Jawasentris). Karena itu, selain narasi sejarah yang ada dan sudah terverifikasi secara ilmiah, revisi Sejarah Nasional Indonesia ini harus memberi ruang yang lebih terhadap sejarah lokal yang selama ini terabaikan, sejarah perempuan, sejarah etnis-etnis minoritas yang terpinggirkan, dan utamannya mereka yang selama ini terstigmatisasi oleh peristiwa G30S tahun 1965. Narasi seperti itu sangat penting untuk memberi ruang pada keberagaman, inklusifitas, dan keadilan sosial yang mencerminkan semangat zaman saat ini.

Meminjam pemaknaan nasionalisme Benedict Anderson, narasi sejarah yang adil dan inklusif sangat dibutuhkan untuk meneguhkan komitmen Keindonesiaan kita hari-hari ini. Bagi Anderson, nasionalisme adalah komitmen kita untuk tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Nasionalisme bukanlah warisan masa lampau, melainkan projek hari ini dan masa depan. Negara harus terus memberikan rasa keadilan kepada warganya untuk menjaga dan memupuk komitmen keindonesiaan itu.

Kini, ketika pemerintah Indonesia membuka ruang untuk menyusun ulang sejarah, muncul harapan akan hadirnya narasi sejarah yang lebih inklusif, terbuka, dan merepresentasikan suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Penyusunan ulang ini bukan berarti menghapus sejarah lama, tetapi meluruskannya berdasarkan temuan baru, riset ilmiah, dan pendekatan yang lebih holistik.

Namun, dibalik niat baik tersebut, terdapat sejumlah catatan penting yang tidak boleh diabaikan. Pertama, tanggapan kritis yang melihat sejarah selalu ditulis menurut versi kekuasaan. Kecurigaan semacam itu jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itu, pemerintah harus benar-benar memberikan kemerdekaan akademis pada mereka yang saat ini ditugaskan menyusun ulang Sejarah Nasional Indonesia. Kekuasaan tidak boleh mengintervensi proses penyusunannya, agar sejarah yang dihasilkan benar-benar objektif sesuai pendekatan ilmiah.

Kedua, revisi sejarah seharusnya diiringi dengan reformasi kurikulum Pendidikan Sejarah. Sudah saatnya pelajaran sejarah di sekolah tidak lagi bersifat hafalan, melainkan menjadi ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, memahami dinamika masa lalu, dan mengambil pelajaran berharga darinya. Seperti kata pepatah sejarah adalah guru kehidupan yang paling bijaksana (historia magistra vitae).

Ketiga, menyusun ulang Sejarah Nasional Indonesia juga bisa membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional. Kita tahu bahwa ada banyak luka sejarah yang belum sembuh di bangsa ini seperti peristiwa 1965 dan yang terbaru adalah dugaan pelanggaran HAM periode reformasi 1998. Periode sejarah ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang ditugaskan dalam penyusunan ulang sejarah nasional. Saya berpendapat bahwa hanya dengan mengakui keberadaan dan penderitaan para korban, bangsa ini bisa melangkah lebih dewasa dan beradab dalam menatap masa depan.

Dengan demikian, usaha menyusun ulang sejarah Indonesia bukan sekadar pekerjaan teknis, tetapi sebuah misi moral dan kebangsaan. Ia menuntut keberanian untuk jujur, kemauan untuk mendengarkan, dan ketulusan untuk merangkul semua anak bangsa dalam satu narasi yang adil dan bermartabat.

Penulis: Nurlin Muhammad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *