Simpulindo.com, – Kerusakan lingkungan yang masif dan ketimpangan sosial yang mencolok menjadi dua masalah besar di Provinsi Gorontalo. Masuknya investasi berskala besar di sektor pertambangan, perkebunan, dan proyek strategis nasional justru memperburuk kondisi masyarakat lokal yang semakin terpinggirkan, sementara lingkungan hidup terus mengalami degradasi.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Gorontalo, Defri Sofyan menilai langkah-langkah pemerintah dalam menangani masalah lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat masih jauh dari memadai. Kebijakan yang membuka lebar pintu investasi justru dianggap menjadi penyebab utama krisis lingkungan dan sosial.
Menurut data WALHI Gorontalo, 37 persen dari total luas lahan di provinsi ini, sekitar 78.500 hektare telah dikuasai oleh korporasi. Lahan ini dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman energi, pertanian monokultur (termasuk jagung), serta proyek strategis nasional.
Dominasi Korporasi di Wilayah Hulu
Penguasaan ruang oleh korporasi mencakup 64 persen ruang hidup masyarakat Gorontalo. Ironisnya, wilayah hulu yang seharusnya menjadi penyangga lingkungan justru menjadi titik eksploitasi terbesar. Sebanyak 43 persen dari penguasaan ruang oleh korporasi digunakan untuk hutan tanaman energi.
“Wilayah hulu Gorontalo telah dieksploitasi secara masif oleh perusahaan, dan dampaknya sangat terasa pada ekosistem di hilir. Ketimpangan ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memperburuk kondisi sosial masyarakat setempat,” kata Defri, Kamis (24/1/2025).
Kerusakan lingkungan akibat aktivitas korporasi berdampak langsung pada meningkatnya bencana alam di Gorontalo. Berdasarkan catatan WALHI, provinsi ini mengalami setidaknya 10 bencana besar setiap tahun, termasuk banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Salah satu bencana terbaru adalah banjir yang melanda 10 desa di enam kecamatan di Kabupaten Pohuwato dan Boalemo. Kawasan terdampak banjir ini berada di sekitar konsesi hutan tanaman energi yang telah merusak ekosistem lokal.
“Sebelumnya, wilayah ini tidak pernah mengalami banjir separah ini. Kondisi ini adalah bukti nyata dampak eksploitasi lingkungan,” tegas Defri.
Pertambangan dan Ancaman Lingkungan
Aktivitas pertambangan oleh perusahaan seperti PETS dan Gorontalo Mineral yang telah mengantongi izin operasi juga berpotensi memperbesar ancaman bagi kelestarian lingkungan. Dampaknya memperparah risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor.
Sebagai organisasi yang fokus pada isu lingkungan dan keadilan sosial, WALHI Gorontalo telah menyusun beberapa langkah strategis untuk mengatasi krisis ini yaitu:
- Advokasi Kebijakan Lingkungan Hidup
WALHI mendorong pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan lingkungan yang berkelanjutan, terutama yang berpihak pada kelompok marjinal seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya.
- Moratorium Perizinan Industri Ekstraktif
WALHI mengusulkan moratorium perizinan untuk sektor pertambangan, hutan tanaman energi, dan pengelolaan wilayah pesisir selama empat tahun ke depan.
- Perbaikan Tata Kelola Wilayah Hulu
Fokus pada perlindungan kawasan hulu dari eksploitasi lebih lanjut untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
- Tata Kelola Wilayah Berbasis Rakyat
WALHI mendukung masyarakat untuk mengelola wilayah mereka secara langsung, dengan harapan dapat mengurangi ketimpangan penguasaan ruang sekaligus menciptakan ekonomi yang inklusif.
Mewujudkan langkah-langkah ini tentu bukan hal mudah. Kebijakan pemerintah yang pro-investasi serta dominasi korporasi di berbagai sektor menjadi tantangan besar. Namun, WALHI optimis bahwa kerja sama antara masyarakat, organisasi sipil, dan pemerintah daerah dapat membawa perubahan positif.
“Perjuangan ini bukan hanya tentang menyelamatkan lingkungan, tetapi juga tentang masa depan masyarakat Gorontalo. Kami akan terus mengawal kebijakan dan memastikan suara rakyat tidak terpinggirkan,” pungkas Defri.