Jejak Patriarki di Tubuh HMI Cabang Gorontalo

Penulis: Wulan Saiyu (Kader Kohati Cabang Gorontalo)

Simpulindo.com – Di tengah gelombang emansipasi yang kian menguat di pelbagai lini kehidupan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Gorontalo justru melangkah mundur. Di bawah kepemimpinan ketua saat ini, organisasi mahasiswa tertua di Indonesia itu memperlihatkan gejala regresif dalam soal kesetaraan gender. Salah satu indikator paling terang adalah ketiadaan Kohati dalam dinamika internal organisasi.

Korps HMI-Wati atau Kohati yang sejak kelahirannya pada 17 September 1966 di Solo, gerakannya bukan sekedar lip service. Ia lahir sebagai respons atas ketimpangan representasi dan partisipasi perempuan di tubuh HMI. Kohati bukan sekadar ruang berhimpun, melainkan ruang kaderisasi ideologis yang dirancang untuk memperkuat peran politik dan sosial kader perempuan. Namun lebih dari setengah abad kemudian, di sebuah cabang kecil di timur Indonesia, suara itu kembali dibungkam.

Menghilangkan Perempuan, Merawat Patriarki

Penghilangan peran Kohati di HMI Cabang Gorontalo bukan perkara teknis. Ini bukan soal kurangnya kader, tidak terselenggaranya musyawarah, atau absennya kegiatan. Ini soal keputusan politik. Seorang sumber internal menyebut bahwa Kohati secara sistematis disingkirkan dari forum-forum pengambilan keputusan, kegiatan strategis, hingga dinamika kepemimpinan organisasi.

“Ada yang ingin perempuan hanya jadi pendukung. Bukan penggerak,” ujar seorang kader senior HMI Gorontalo.

Fenomena ini sejalan dengan analisis sosiolog Sylvia Walby yang melihat patriarki sebagai sistem kekuasaan sosial yang menempatkan perempuan dalam subordinasi. Di ruang yang semestinya menjadi arena kaderisasi progresif, nilai-nilai patriarkal justru tumbuh subur, dirawat dalam struktur, dijaga lewat retorika, dan dipelihara oleh budaya diam.

Ironisnya, semua berlangsung dalam organisasi yang mengusung nama besar: Islam, mahasiswa, dan keadilan sosial. Tiga kata yang seharusnya menuntut keberpihakan pada nilai keadilan dan kesetaraan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kepemimpinan di cabang ini tampak lebih nyaman berkubang dalam konservatisme yang meminggirkan kader perempuan dari jantung gerakan.

Kohati: Dari Arena Kritis ke Sudut yang Sunyi

Selama ini, Kohati bukan sekadar wadah formal. Ia adalah ruang produksi intelektual perempuan Muslim yang progresif. Sejarah mencatat nama-nama besar seperti Nursyahbani Katjasungkana, Siti Musdah Mulia, hingga Andi Yuliani Paris yang semuanya menapaki jejak awal gerakan dari Kohati.

Membekukan Kohati sama dengan memutus mata rantai sejarah. Lebih dari itu, keputusan ini berarti menarik kembali jarum jam ke masa ketika suara perempuan dianggap gangguan, bukan kontribusi. Ini adalah upaya sistematis membungkam jejak perempuan dari tubuh gerakan mahasiswa Islam, dan menjadikan sejarah sebagai narasi sepihak, yang maskulin, dominan, dan eksklusif.

Kepemimpinan hari ini, sadar atau tidak, sedang mereproduksi model kekuasaan yang bertumpu pada patriarki klasik. Sebuah pola yang melihat perempuan sebagai pelengkap, bukan penggerak. Sebuah kepemimpinan yang menilai efektivitas organisasi hanya bisa dicapai melalui kendali tunggal dari kaum lelaki.

Krisis Nilai di Tubuh Gerakan

Yang terjadi di HMI Cabang Gorontalo sejatinya bukan cuma krisis representasi. Ini adalah cermin dari krisis nilai. Ketika sebuah organisasi mahasiswa tak lagi menjunjung keadilan gender, maka patut dipertanyakan kembali nilai apa yang sedang diperjuangkan, dan siapa yang sedang dibentuk.

Sebagai organisasi yang mengusung misi keislaman dan keindonesiaan, HMI seharusnya berdiri di garis depan dalam menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan. Tanpa keadilan gender, perjuangan HMI hanya akan berakhir sebagai slogan. Retorika kosong yang membungkus praktik lama.

Tak ada keadilan sosial tanpa kesetaraan gender. Dan tak ada gerakan mahasiswa yang sehat jika suara separuh anggotanya ditiadakan.

Saatnya Menggugat, Bukan Menunggu

Jika suara perempuan terus disingkirkan dari tubuh organisasi, maka diam bukan pilihan. Sudah saatnya kader-kader perempuan menggugat, bukan hanya lewat wacana, tetapi lewat aksi. Gerakan mahasiswa, apapun basis ideologinya harus menjadi tempat di mana nilai-nilai keadilan tak hanya diteriakkan, tetapi diperjuangkan secara konkret.

Karena seperti yang pernah ditulis Soe Hok Gie, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *