Simpulindo.com, – Di tengah hiruk pikuk pasar yang tampak seperti biasa, harga-harga kebutuhan pokok di Provinsi Gorontalo ternyata terus merambat naik. Kenaikannya memang tidak melonjak drastis, tetapi cukup untuk menimbulkan tekanan ekonomi yang dirasakan oleh banyak warga.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo yang dirilis awal Mei 2025 mencatat inflasi tahunan sebesar 2,30 persen. Artinya, harga barang dan jasa di daera ini rata-rata meningkat dibandingkan April tahun lalu.
Yang mencolok, dan sekaligus mengkhawatirkan, adalah perbedaan besar antara inflasi di kabupaten dan kota. Kabupaten Gorontalo mencatat inflasi sebesar 3,15 persen, sedangkan Kota Gorontalo hanya 1,26 persen. Perbedaan ini mengisyaratkan bahwa beban ekonomi lebih berat justru ditanggung oleh warga di kabupaten.
Penyebab utama inflasi berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Dalam kelompok ini, sejumlah komoditas pangan segar seperti ikan selar, ikan cakalang, ikan ekor kuning, cabai merah, dan tomat mencatatkan lonjakan harga yang tajam. Tidak hanya itu, bahan olahan seperti mie instan dan kopi bubuk ikut naik, diikuti oleh barang kebutuhan rumah tangga seperti minyak goreng dan rokok.
Dalam laporan BPS, kelompok makanan ini menyumbang hampir dua persen terhadap total inflasi provinsi. Kenaikan harga-harga ini paling dirasakan di daerah-daerah yang akses logistiknya kurang memadai. Kabupaten Gorontalo, misalnya, yang jaraknya lebih jauh dari pusat distribusi dan pasar besar, lebih rentan terhadap gejolak pasokan dan keterlambatan distribusi. Kurangnya fasilitas penyimpanan seperti gudang pendingin turut memperparah keadaan.
Di luar sektor makanan, inflasi juga dipengaruhi oleh naiknya harga emas perhiasan serta barang-barang perawatan pribadi seperti parfum, shampo, dan pasta gigi. Lonjakan tarif listrik pada April turut menambah beban rumah tangga, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Namun tidak semua barang mengalami kenaikan. Harga beras justru tercatat turun dan berkontribusi pada deflasi. Selain itu, telur ayam ras, kangkung, bayam, sabun detergen, dan pulsa ponsel juga mengalami penurunan harga, meskipun tidak cukup besar untuk menahan laju inflasi secara keseluruhan.
Yang menjadi sorotan adalah ketimpangan harga antara daerah kota dan kabupaten. Kota Gorontalo cenderung lebih stabil karena memiliki akses pasar yang lebih baik, distribusi yang lancar, dan stok barang yang mencukupi. Sebaliknya, Kabupaten Gorontalo lebih tergantung pada pasokan dari luar dan memiliki lebih sedikit pilihan pasar.
Kondisi tersebut menyebabkan lonjakan harga yang lebih mudah terjadi ketika ada gangguan kecil seperti cuaca buruk atau kapal pengangkut yang terlambat. Fenomena seperti ini bukanlah hal baru di Indonesia. Ketimpangan infrastruktur dan sistem distribusi memang menjadi penyebab klasik inflasi di banyak daerah.
Siapa yang Paling Terdampak?
Inflasi paling terasa oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Mereka harus mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok, terutama makanan.
Ketika harga ikan dan sayur naik, mereka terpaksa mengurangi jumlah belanja atau mencari alternatif yang lebih murah. Seperti yang dialami Ibu Mariam, seorang ibu rumah tangga di Limboto, yang mengeluhkan harga cabai yang naik dua kali lipat. Biasanya ia membeli satu kilogram, kini hanya sanggup membeli setengah.
“Mau masak jadi mikir-mikir,” katanya saat ditemui di pasar.
Bagi keluarga seperti Mariam, inflasi bukan sekadar angka. Ia adalah kenyataan pahit yang mengubah isi piring makan, mempengaruhi kesehatan anak, dan kadang memaksa untuk berutang demi dapur tetap mengepul.
Pemerintah daerah tidak bisa berdiam diri. Meskipun angka inflasi 2,30 persen masih dalam kategori aman menurut Bank Indonesia, dampaknya sangat nyata di lapangan, khususnya di kabupaten. Harus ada langkah kongkret yang dilakukan pemerintah untuk menekan harga bahan pokok dan harganya terjangkau oleh masyarakat kecil.
Inflasi memang bukan badai yang datang mendadak. Ia merayap pelan, kadang tidak terlihat, namun dampaknya nyata. Laporan BPS Gorontalo kali ini membuka mata kita bahwa meskipun angka-angka terlihat moderat, ketimpangan dan tekanan ekonomi sudah berlangsung. Dan di balik grafik dan persentase itu, ada cerita tentang ibu-ibu yang harus menyesuaikan belanja hariannya, nelayan yang kesulitan menjual hasil tangkapannya, serta keluarga-keluarga yang memutar otak agar dapur tetap menyala.
Inflasi bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keadilan sosial. Dan keadilan itu, seperti harga-harga yang perlahan menjauh dari jangkauan, masih harus terus diperjuangkan agar tak ada lagi wilayah yang menanggung beban lebih berat hanya karena letaknya lebih jauh dari pusat.