Hilangnya Fungsi Lindung Akibat Kerusakan Hutan Di Sejumlah Hulu Sungai Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane

Simpulindo.com, – Banjir yang melanda Kawasan Puncak Bogor mengakibatkan gangguan aktivitas dan merusak infrastruktur publik di berbagai titik. Hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan aliran Sungai Ciliwung meluap, merendam permukiman, serta jalur utama yang menghubungkan Bogor dengan Kawasan Puncak.

Selain itu, Jakarta dan Kota Bekasi turut terdampak akibat luapan Sungai Ciliwung dan Kali Bekasi, yang menyebabkan lumpuhnya berbagai sektor aktivitas masyarakat.

Menurut temuan Forest Watch Indonesia (FWI), masifnya kerusakan hutan di tiga hulu sungai, yang mencapai 2.300 hektare, berkontribusi besar terhadap hilangnya fungsi hutan sebagai konservasi air dan tanah.

Pengkampanye Hutan FWI, Tsabit Khairul Auni, menjelaskan bahwa hutan memiliki peran penting dalam menyimpan air di dalam tanah dan menahan air hujan agar tidak langsung mengalir ke sungai. Namun, alih fungsi lahan di Hulu DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane memperburuk kondisi, menyebabkan meluapnya sungai serta banjir di berbagai wilayah, termasuk Jakarta dan Bekasi.

Kerusakan hutan berakibat pada berkurangnya daya serap tanah terhadap air, sehingga meningkatkan risiko aliran permukaan (run-off) dan mempercepat terjadinya banjir. Konversi lahan secara masif menjadi kawasan terbangun, seperti vila, objek wisata, serta infrastruktur jalan, semakin memperparah kondisi.

FWI mencatat bahwa dari tahun 2017 hingga 2023, deforestasi di tiga DAS tersebut telah mencapai 2.300 hektare, setara dengan 850 kali luas Gedung Sate di Bandung.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa di Kawasan Puncak Bogor, perubahan penutupan lahan yang signifikan terjadi antara tahun 2017 hingga 2024. Di Kecamatan Megamendung dan Cisarua, sekitar 310 hektare hutan alam telah rusak. Dari jumlah tersebut, 208,76 hektare telah beralih menjadi perkebunan, 26,64 hektare menjadi lahan terbangun, dan 75,33 hektare menjadi lahan terbuka.

Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, menegaskan bahwa kota-kota besar di Jabodetabek sangat bergantung pada ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat. Namun, luas hutan yang tersisa di DAS Ciliwung hanya 14%, Kali Bekasi 4%, dan Cisadane 21%.

“Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, setidaknya 30% dari luas DAS harus merupakan kawasan hutan. Sayangnya, hutan lebih sering dipandang sebagai komoditas daripada sebagai sistem pendukung kehidupan,” kata Anggi.

Lebih lanjut, Anggi menjelaskan bahwa kebijakan kehutanan yang berlaku saat ini justru mempercepat degradasi hutan. Dari 23 ribu hektare kawasan hutan di tiga DAS tersebut, sebagian besar ditetapkan sebagai hutan produksi, yang lebih mengutamakan hasil kayu dibandingkan jasa lingkungan. Hal ini mendorong pengrusakan hutan secara terencana di tingkat tapak.

Perubahan kebijakan tata ruang juga memperparah situasi. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 menunjukkan penurunan luas kawasan lindung dibandingkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2016.

Di Kawasan Puncak Bogor, perkebunan teh dan hutan produksi sebelumnya berstatus sebagai kawasan lindung, namun kini telah dialihfungsikan menjadi kawasan budidaya. Perubahan ini memungkinkan pembangunan lebih bebas, yang berkontribusi terhadap hilangnya daerah resapan air, seperti yang terjadi pada proyek wisata “Hibisc Fantasy Puncak.”

Diperlukan langkah konkret untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai penyangga ekosistem dan mencegah bencana yang lebih besar di masa depan. Jika deforestasi dan alih fungsi lahan terus berlangsung, maka ancaman banjir di wilayah Jabodetabek akan semakin sering terjadi dengan dampak yang semakin luas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *