Hak-Hak Tradisional Dalam Konstitusi: Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

Simpulindo.com, – Upaya mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat kembali digaungkan oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat melalui sebuah diskusi publik bertajuk Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat, yang digelar baru-baru ini.

Diskusi ini menjadi ruang reflektif sekaligus strategis dalam meninjau kembali makna “hak-hak tradisional” sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, serta menegaskan pentingnya kehadiran payung hukum nasional yang melindungi eksistensi masyarakat adat di Indonesia.

Koalisi menyoroti belum adanya definisi hukum yang jelas atas frasa “hak-hak tradisional”, yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca-amandemen UUD 1945. Hal ini dinilai berdampak pada perlindungan hukum yang lemah, sehingga pengakuan dan pemberdayaan masyarakat adat masih berjalan secara sektoral dan diskriminatif.

“RUU Masyarakat Adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat parsial dan rawan menimbulkan konflik,” ujar akademisi IPB University, Rina Mardiana, Kamis (17/4/2025).

Rina menegaskan, masyarakat adat merupakan kelompok otokton yang memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan wilayahnya, serta menjalankan sistem hukum, sosial, dan ekonomi sendiri.

“Mereka bukan pecahan negara atau eks-swapraja. Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri,” tambahnya.

Hal senada disampaikan Erwin dari Perkumpulan HuMa, yang juga tergabung dalam Koalisi. Menurutnya, frasa “hak-hak tradisional” dalam UUD 1945 memang dimaksudkan agar fleksibel secara interpretatif, namun perlu diperjelas dalam undang-undang.

“RUU Masyarakat Adat harus mempertegas bahwa hak-hak masyarakat adat merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), dan negara wajib menghormati, memenuhi, serta melindunginya,” kata Erwin.

Urgensi pengesahan RUU ini semakin nyata ketika melihat situasi di berbagai daerah. Di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, masyarakat adat menghadapi hilangnya akses terhadap sumber daya agraria akibat tidak adanya perlindungan hukum yang memadai.

“Sudah berbagai upaya kami tempuh agar masyarakat adat mendapat pengakuan penuh. Tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya dianggap sebagai pengganggu pembangunan,” ujar Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba, yang akrab disapa Umbu Tri.

Menurutnya, masyarakat adat di wilayah tersebut telah lama menerapkan praktik pelestarian sumber daya alam secara berkelanjutan melalui mekanisme kelembagaan dan musyawarah adat.

Sementara itu, masyarakat adat Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan juga tengah menghadapi kekhawatiran serupa. Rencana penetapan wilayah adat mereka sebagai kawasan konservasi atau taman nasional dinilai berpotensi mengancam hak-hak tradisional mereka.

“Hutan bukan hanya tempat tinggal kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” ujar Harnilis, tokoh adat Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Harnilis menekankan, masyarakat adat Meratus hidup berdampingan secara harmonis dengan alam, dengan kolaborasi antara laki-laki dan perempuan dalam menjaga budaya serta sumber daya yang diwariskan secara turun-temurun.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU tersebut. Mereka menilai, pemenuhan terhadap hak-hak tradisional masyarakat adat bukan hanya mandat konstitusi, tetapi juga bagian dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Tanpa payung hukum yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat, negara ini akan terus mengabaikan amanat konstitusi,” tegas Koalisi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *