Mandek di Polda, Kasus Kekerasan Seksual oleh Rektor Dikecam Aktivis Perempuan

Simpulindo.com, – Alih-alih merayakan Hari Pendidikan Nasional dengan seremoni, sejumlah aktivis perempuan dan anak di Gorontalo turun ke jalan, Jumat (2/5/2025). Aksi ini digelar sebagai bentuk protes terhadap lambannya penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan.

Mega Anastasya Diska Mokoginta, anggota WIRE Gorontalo, menyebut aksi ini sebagai luapan kemarahan kolektif dari para aktivis perempuan yang tergabung dalam jejaring aktivis perempuan  dan  anak (Jejak Puan),  dan masyarakat sipil. Jejaring itu melibatkan sejumlah organisasi mahasiswa seperti Kohati, Kopri, dan Imawati yang menyuarakan keresahan terhadap maraknya kasus kekerasan seksual di sekolah dan kampus.

“Hari ini mestinya kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, tetapi realitas yang kita hadapi menunjukkan bahwa institusi pendidikan juga menjadi ruang terjadinya kekerasan seksual. Tidak hanya di tempat kerja, tetapi juga di ruang kelas, di kampus, dan sekolah,” kata Mega.

Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah dugaan pelecehan seksual terhadap sebelas mahasiswi yang melibatkan seorang profesor, mantan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo (UNUGO). Laporan atas kasus ini telah masuk ke Kepolisian Daerah Gorontalo setahun lalu, namun hingga kini belum menunjukkan perkembangan berarti.

“Pelaku adalah figur yang memiliki jabatan tinggi dan dipandang agung oleh masyarakat. Namun, selama setahun ini, penanganan kasusnya mandek. Tidak ada kejelasan arah proses hukumnya,” ujar Mega.

 

Jejak Puan Gorontalo. Foto: Simpulindo
Jejak Puan Gorontalo. Foto: Simpulindo

Aksi yang berlangsung di Mapolda Gorontalo ini juga menuntut sejumlah langkah tegas dari aparat penegak hukum. Para aktivis mendesak Polda Gorontalo untuk tidak tebang pilih dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan mengedepankan perlindungan terhadap korban.

“Kami minta aparat hukum, termasuk kepolisian, menghadirkan ahli serta psikolog forensik yang independen dalam proses penyidikan. Jangan sampai ada lagi korban yang justru disudutkan atau tidak mendapatkan pendampingan yang layak,” katanya.

Selain mendesak percepatan penanganan kasus, massa juga meminta Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi untuk mencabut gelar profesor dari terduga pelaku.

“Gelar itu tidak pantas disandang oleh seseorang yang memanfaatkan relasi kuasa untuk melakukan tindakan tidak bermoral,” tegas Mega.

Mereka juga meminta dinas perlindungan perempuan dan anak tidak bersembunyi di balik alasan klasik, seperti keterbatasan anggaran.

“Tugas melindungi korban tidak bisa ditunda. Negara tidak boleh abai,” tambahnya.

Mega menegaskan, ini bukan pertama kalinya mereka menggelar aksi serupa. Pada 2024, para aktivis perempuan di Gorontalo juga turun ke jalan menuntut keadilan atas kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan di berbagai sektor, mulai dari pendidikan hingga tempat kerja.

“Sebagai perempuan, kami tidak hanya menuntut keadilan untuk korban, tapi juga memerangi sistem yang membuat tubuh perempuan terus menjadi objek. Kami akan terus bersuara,” tutup Mega.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *