Simpulindo.com, – Gorontalo, provinsi dengan kekayaan alam melimpah, kini menghadapi ancaman yang serius. Bukan dari luar, tetapi dari dalam. Sebesar 65% wilayahnya telah dikuasai oleh korporasi, langsung maupun tidak langsung.
Wajah penguasaan itu hadir dalam rupa konsesi pertambangan, perkebunan sawit, hutan tanaman industri, proyek strategis nasional, hingga pertanian monokultur jagung.
Rakyat terhimpit, ruang hidupnya terancam. Tak hanya soal penguasaan ruang, tapi juga bencana ekologis yang terus datang silih berganti; banjir, longsor, hingga hilangnya sumber penghidupan.Wa
Luas konsesi tambang di Gorontalo mencapai 59 ribu hektare. Dari angka itu, 98% atau sekitar 58 ribu hektare hanya dikuasai oleh lima perusahaan tambang besar. Mereka adalah PT Gorontalo Minerals (24.995 ha), PT Gorontalo Sejahtera Mining (14.570 ha), PT Celebes Bone Mineral (13.195 ha), dan PT Puncak Emas Tani Sejahtera (100 ha).
Sementara itu, data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, dalam lima tahun terakhir (2017-2021), deforestasi di Gorontalo mencapai 33.492 hektare. Mirisnya, 85% deforestasi ini terjadi akibat aktivitas pertambangan yang berada di wilayah hulu.
Dengan kondisi topografi Gorontalo yang curam, wajar jika bencana seperti banjir dan longsor terus menjadi “langganan” setiap tahunnya.
Ketika Perguruan Tinggi Dilibatkan dalam Tambang
Di tengah ancaman ini, rencana pemerintah untuk memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi semakin memperburuk keadaan. Bagi WALHI Gorontalo, langkah ini bukan solusi, melainkan menambah masalah.
Setelah sebelumnya Ormas keagamaan memperoleh “kue”, kali ini giliran institusi perguruan tinggi yang mendapatkan jatah tersebut dengan skema prioritas melalui revisi UU Minerba yang dikebut maraton oleh DPR.
Dua unsur yang jadi pilar kritis bangsa mulai dijinakkan. Parahnya rencana pemberian WIUP kepada perguruan tingi oleh Forum Rektor Indonesia, disambut baik dengan alasan bisa bantu menurunkan biaya pendidikan yang gila-gilaan hari ini.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Gorontalo, Defri Sofyan menyebutkan agenda revisi UU Minerba yang secara spesifik ingin memberikan WIUP kepada perguruan tinggi dikhawatirkan akan merusak integritas perguruan tinggi.
“Jika ini benar terjadi, perguruan tinggi yang seharusnya menjadi ruang nalar kritis akan menjadi bagian dari bisnis tambang yang merusak lingkungan. Parahnya, aktivitas yang merampas ruang hidup rakyat bisa mendapatkan justifikasi ilmiah dari akademisi,” Kata Defri, Senin (27/1/2025).
“Hal ini juga merupakan bentuk pembungkaman, karena akademisi yang mengkritik agenda pemerintah tersebut akan dianggap bertentangan dan dibatasi ruang geraknya,” imbuhnya.
Menurut Defri, Potensi Konflik ketimpangan ruang dan risiko kerusakan ekologis akan semakin tinggi, karena tidak akan ada lagi kritik dari lembaga pendidikan tinggi yang harusnya menjadi benteng pertahanan rakyat dari agenda-agenda luar nalar penguasa.
WALHI Gorontalo menilai terdapat upaya pembungkaman struktural terhadap nalar-nalar kritis. Perguruan Tinggi sebagai tempat memproduksi wacana kritis justru akan disibukkan dengan bisnis kotor pertambangan.
Argumentasi bahwa dengan adanya konsesi tambang akan membantu menurunkan biaya pendidikan adalah sebuah bentuk pengingkaran terhadap amanat UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk memberikan hak pendidikan bagi warganya.
Melihat situasi ini, WALHI Gorontalo menyatakan sikap:
Mendesak pencabutan usulan pemberian izin pertambangan untuk perguruan tinggi dalam RUU Minerba.
Mengecam langkah pemerintah dan DPR yang membuka peluang perguruan tinggi menjadi pengelola tambang.
Meminta moratorium izin perusahaan ekstraktif, termasuk tambang, perkebunan, dan pengelolaan hutan, yang merusak lingkungan dan mengancam ruang hidup rakyat.
Mengajak seluruh perguruan tinggi di Gorontalo dan daerah lain untuk menolak rencana ini, demi menjaga integritas dan kehormatan akademik.