Rupiah Terpuruk di Asia, Apa Penyebabnya?

Simpulindo.com, – Sepanjang kuartal pertama 2025, nilai tukar rupiah mencatat kinerja terlemah di Asia, bertolak belakang dengan tren penguatan mayoritas mata uang regional terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Rupiah mengawali tahun di level Rp16.195 per dolar AS, dan sepanjang Januari hingga Maret, pergerakannya terus tertekan hingga mencapai titik terlemah dalam 25 tahun terakhir. Pada 25 Maret, rupiah sempat menyentuh Rp16.642 per dolar AS dalam perdagangan intraday sebelum akhirnya ditutup di Rp16.595 per dolar AS.

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah bergerak rata-rata di Rp16.348 per dolar AS sepanjang kuartal pertama, lebih lemah dibandingkan periode sebelumnya yang berada di Rp15.779 per dolar AS. Pelemahan sebesar 2,77 persen sejak akhir 2024 menjadikan rupiah sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di Asia.

Tekanan Eksternal dan Domestik

Pelemahan rupiah terjadi di tengah berbagai dinamika global dan domestik. Kebijakan perdagangan AS, terutama terkait tarif impor, serta ketidakpastian suku bunga The Federal Reserve menjadi faktor eksternal yang membebani nilai tukar. Sementara itu, di dalam negeri, berbagai isu ekonomi dan politik memperburuk tekanan terhadap rupiah.

Defisit fiskal yang meningkat akibat lemahnya penerimaan negara, serta kebijakan populis pemerintahan baru, turut menjadi perhatian investor. Isu pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara, serta kekhawatiran terhadap pelemahan daya beli masyarakat dan meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), memperbesar sentimen negatif di pasar.

Di sektor pemerintahan, spekulasi mengenai pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani dan revisi Undang-Undang TNI yang menuai kontroversi turut memperburuk persepsi investor terhadap stabilitas ekonomi nasional.

Dampak Pelemahan Rupiah

Pelemahan rupiah tidak hanya terjadi terhadap dolar AS, tetapi juga terhadap berbagai mata uang utama dunia. Rupiah melemah 6,2 persen terhadap euro, 6,5 persen terhadap yen Jepang, serta mengalami penurunan nilai terhadap dolar Singapura, ringgit Malaysia, dan baht Thailand.

Dampaknya terhadap perekonomian pun tidak bisa diabaikan. Perusahaan yang bergantung pada impor mengalami kenaikan biaya produksi, sementara tekanan terhadap inflasi semakin meningkat.

Studi yang dilakukan oleh JPMorgan menunjukkan bahwa setiap pelemahan rupiah sebesar 1 persen terhadap dolar AS dapat menurunkan pertumbuhan laba per saham (EPS) perusahaan sebesar 0,5 persen.

Selain itu, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga berisiko membengkak. Setiap pelemahan Rp100 per dolar AS diperkirakan menambah beban fiskal sebesar Rp3,4 triliun. Dengan rata-rata kurs rupiah di Rp16.348 per dolar AS, pelemahan sebesar Rp248 per dolar AS diperkirakan berkontribusi terhadap tambahan defisit APBN hampir Rp10 triliun.

Bank Indonesia: Situasi Berbeda dengan 1998

Meski berada dalam tekanan, Bank Indonesia menilai kondisi saat ini tidak dapat disamakan dengan krisis 1998. Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikhin M. Juhro, mengatakan bahwa fundamental ekonomi masih kuat, dengan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen dan inflasi yang tetap terkendali.

“Kondisi saat ini jauh berbeda dibandingkan krisis 1998. Perekonomian Indonesia lebih stabil, dengan rasio utang publik dan swasta yang masih dalam batas aman,” ujarnya dalam pernyataan yang dikutip dari Bloomberg News.

Namun, tantangan tetap ada. Stabilitas nilai tukar menjadi kunci dalam menjaga daya beli masyarakat dan mencegah dampak lebih lanjut terhadap ekonomi nasional. Dengan tekanan yang masih tinggi, pasar akan menantikan langkah lanjutan dari otoritas moneter dan fiskal dalam menstabilkan rupiah ke depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *