Simpulindo.com, – Sudah saatnya kita kembali menegaskan garis batas antara jabatan publik dan kepentingan ekonomi pribadi. Dalam konteks pemerintahan desa, larangan bagi kepala desa dan perangkatnya untuk menjadi pelaksana proyek adalah langkah penting demi menjaga integritas dan tata kelola pemerintahan yang bersih. Larangan ini bukan semata-mata aturan administratif, melainkan cermin dari semangat reformasi birokrasi yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
Pemerintahan desa kini berada dalam pusaran anggaran yang tidak kecil. Dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat sejak 2015 mencapai angka triliunan rupiah tiap tahunnya. Ini adalah bentuk kepercayaan negara kepada desa untuk mengelola pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat lokal. Namun, dalam praktiknya, dana ini kerap menjadi bancakan elit lokal. Kepala desa yang seharusnya menjadi pengayom dan pengarah justru turun langsung menjadi pelaksana proyek, lengkap dengan jaringan kontraktor bayangan dan transaksi gelap yang tak tersentuh pengawasan publik.
Kasus demi kasus terus bermunculan. Kepala desa merangkap sebagai rekanan proyek, mengatur tender fiktif, hingga membentuk perusahaan keluarga sebagai pelaksana kegiatan fisik di lapangan. Hal ini tidak hanya melanggar etika jabatan, tapi juga membuka ruang besar bagi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dana desa yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan berubah menjadi sumber pemerkayaan pribadi.
Ketiadaan pemisahan peran ini menciptakan konflik kepentingan akut. Kepala desa sebagai pemegang kekuasaan administratif di tingkat lokal memiliki kuasa untuk menentukan arah anggaran, menyusun rencana pembangunan, sekaligus mengesahkan pelaksana proyek. Bila ia juga menjadi pelaksana, ke mana publik harus mengadu jika terjadi penyimpangan? Tak ada lagi mekanisme kontrol yang berjalan efektif. Pengawasan menjadi tumpul karena tak ada pihak yang benar-benar independen.
Pemerintah sebenarnya telah mencoba menertibkan praktik ini melalui berbagai regulasi. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara implisit menegaskan pentingnya pemisahan peran dalam pengelolaan dana desa. Pasal 26 ayat (4) huruf d Undang-Undang ini menyebutkan bahwa kepala desa berkewajiban menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Lebih lanjut, dalam Pasal 29 huruf g, kepala desa dilarang menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya.
Bagi kepala desa atau perangkat desa yang terbukti menyalahgunakan wewenang, hukum telah mengatur sanksi pidana yang tegas. Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, pelaku penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dapat dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Bahkan dalam kondisi tertentu, pelaku dapat dikenai hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti dan pencabutan hak politik.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa juga menegaskan bahwa pelaksanaan kegiatan harus dilakukan oleh tim pelaksana kegiatan (TPK), bukan oleh kepala desa secara langsung. Bila melanggar, selain sanksi pidana, kepala desa dapat diberhentikan sesuai dengan mekanisme dalam Pasal 30 UU Desa, yaitu jika terbukti melakukan perbuatan tercela atau tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
Instruksi Menteri Dalam Negeri maupun surat edaran dari Kementerian Desa juga berkali-kali menekankan agar kepala desa tidak menjadi pelaksana proyek. Namun, lemahnya penegakan hukum dan minimnya edukasi kepada masyarakat membuat aturan ini kerap dianggap angin lalu.
Dibutuhkan komitmen serius dari berbagai pihak untuk menegakkan prinsip ini. Pertama, perlu ada sanksi tegas dan nyata bagi kepala desa dan perangkatnya yang terbukti menyalahgunakan kewenangan. Tidak cukup dengan teguran administratif, harus ada proses hukum yang transparan dan memberi efek jera. Kedua, penguatan kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga pengawas mesti dilakukan. BPD harus diberi pelatihan dan dukungan agar mampu menjalankan fungsi kontrolnya tanpa takut intervensi dari kepala desa.
Ketiga, masyarakat desa sendiri harus diedukasi mengenai hak-hak mereka dalam pengelolaan dana desa. Transparansi anggaran harus menjadi keniscayaan: setiap proyek harus diumumkan secara terbuka, baik di papan informasi desa maupun media sosial resmi. Masyarakat harus diajak terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembangunan. Partisipasi ini adalah benteng terakhir dari penyalahgunaan wewenang.
Sementara itu, untuk menutup celah konflik kepentingan, pemerintah perlu mewajibkan pelibatan pihak ketiga yang profesional dalam pelaksanaan proyek, baik dalam bentuk badan usaha lokal yang independen maupun kerjasama dengan lembaga mitra yang telah tersertifikasi. Kepala desa cukup berperan sebagai pengarah dan pengawas pelaksanaan, bukan sebagai aktor teknis di lapangan.
Perlu juga dicermati bahwa dorongan bagi kepala desa untuk menjadi pelaksana proyek sering kali lahir dari motif ekonomi. Gaji dan tunjangan yang minim, serta beban kerja yang tinggi, membuat mereka tergoda untuk mencari tambahan penghasilan dari proyek pembangunan. Di sinilah negara harus hadir: memperbaiki sistem remunerasi aparatur desa agar layak dan manusiawi, sehingga mereka tidak tergoda untuk “berdagang” dengan jabatan.
Kita harus kembali pada semangat awal otonomi desa: membangun dari bawah, oleh dan untuk masyarakat desa. Ini berarti menjadikan kepala desa sebagai fasilitator, bukan kontraktor. Sebagai pemimpin yang menggerakkan partisipasi warga, bukan sebagai pedagang proyek yang menjual pengaruh demi keuntungan pribadi. Desa adalah ruang demokrasi terkecil yang harus dijaga dari praktik oligarki gaya baru.
Pemberdayaan desa bukan berarti menyerahkan segalanya tanpa kontrol. Justru dalam pemberian kewenangan itulah, negara harus memastikan bahwa tata kelola berjalan di atas rel yang benar. Larangan bagi kepala desa menjadi pelaksana proyek adalah pagar etis yang menjaga agar rel itu tidak melenceng. Kita tidak bisa berharap pembangunan desa berjalan baik jika motor penggeraknya terlibat dalam permainan anggaran.
Sudah terlalu banyak pelajaran pahit dari praktik-praktik menyimpang di tingkat desa. Sudah saatnya kita belajar dan berbenah. Reformasi birokrasi tidak boleh berhenti di kota-kota besar, ia harus menjalar hingga ke pelosok. Karena masa depan negeri ini juga ditentukan oleh bagaimana kita membangun dari desa.
Dengan mempertegas larangan ini, kita sedang mengukuhkan prinsip bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan alat dagang. Kepala desa bukan kontraktor negara. Ia adalah pelayan rakyat yang seharusnya menjadi contoh integritas, bukan perantara proyek yang menghitung laba dari setiap meter jalan desa yang dibangun.