Simpulindo.com, Gorut – Video viral anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Wahyudin Moridu, bersama seorang perempuan yang disebut sebagai selingkuhan kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Badan Kehormatan (BK) DPRD Gorontalo dalam konferensi pers Jumat (19/9/2025), menyatakan kasus tersebut akan segera disidangkan dan diputuskan pekan depan.
Ketua BK, Fikran A. Salilama, menjelaskan pihaknya tengah menelusuri validitas perjalanan dinas Wahyudin ke Makassar pada Juni 2025 yang menjadi konteks rekaman tersebut.
Semnetara Wakil Ketua BK, Umar Karim, menambahkan pengakuan sudah diberikan, sehingga mekanisme sanksi akan diputuskan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Tata Tertib DPRD.
Namun langkah BK dinilai lamban dan setengah hati. Presiden BEM Universitas Gorontalo, Erlin Adam, menegaskan kasus ini bukan sekadar persoalan pribadi seorang legislator, melainkan krisis etika politik dan delegitimasi lembaga DPRD di mata masyarakat.
Menurut Erlin, moralitas pejabat publik erat kaitannya dengan teori kontrak sosial Jean-Jacques Rousseau. Mandat wakil rakyat, kata dia, tidak berhenti pada fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, tetapi juga menjaga martabat moral serta integritas jabatan.
“Ketika seorang wakil rakyat mencederai etika publik, kontrak sosial dengan rakyat otomatis dilanggar. Artinya, tidak lagi layak menduduki jabatan tersebut,” kata Erlin, Sabtu (20/9/2025).
Dari sudut hukum tata negara, pelanggaran etik anggota DPRD dapat berujung pada pemecatan atau Pergantian Antar Waktu (PAW) sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 354 dan PP Nomor 12 Tahun 2018. Regulasi tersebut secara jelas menyebutkan pemberhentian bisa dilakukan apabila terbukti melanggar sumpah/janji jabatan atau kode etik.
Erlin menilai BK DPRD kerap tidak berpihak pada rakyat, melainkan berfungsi sebagai aparatus politik. Dalam perspektif Antonio Gramsci, lembaga semacam ini berpotensi menjadi “aparatus hegemonik” yang menjaga citra partai dan elit tertentu dibanding menegakkan moralitas publik.
“BK DPRD jangan hanya jadi stempel kekuasaan. Kalau sanksi sebatas formalitas tanpa pemecatan, berarti DPRD lebih memilih melindungi elitnya sendiri ketimbang menjaga marwah lembaga dan suara rakyat,” ujar Erlin.
Ia juga menyinggung kritik Marxis yang melihat institusi politik sering terjebak dalam logika kelas penguasa, menutup skandal demi mempertahankan status quo. Alih-alih menegakkan integritas, BK justru berpotensi menjadi mekanisme legal untuk melanggengkan impunitas.
Erlin menegaskan mahasiswa tidak akan tinggal diam bila kasus ini hanya berakhir dengan teguran atau sanksi administratif.
“Kalau Wahyudin Moridu tidak segera dicopot dari jabatannya, kami mahasiswa siap mengkonsolidasikan diri melakukan demonstrasi besar-besaran. Ini bukan soal individu, tapi soal kehormatan DPRD dan kepercayaan rakyat,” ucapnya.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi DPRD Gorontalo. Publik menuntut ketegasan, transparansi, dan keberanian politik. Jika sanksi tegas tidak dijatuhkan, asumsi bahwa DPRD hanya tempat melanggengkan kekuasaan akan semakin menguat.
Dalam kerangka demokrasi deliberatif, legitimasi lembaga politik hanya bisa dijaga melalui transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi etika pejabat publik. Tanpa itu, krisis kepercayaan akan semakin dalam dan rakyat berhak menggunakan ruang demokratis untuk melakukan perlawanan politik di jalanan. (AN/Simpulindo).
Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian, simpulindo.com berkomitmen menyajikan informasi factual dari lapangan. Ikuti perkembangan terbaru melalui saluran kami https://bit.ly/4n8h1GD