Tarian THR Meriahkan Lebaran, Tapi Benarkah Menyerupai Hora?

Simpulindo.com, – Tarian THR yang tengah viral di media sosial saat perayaan Idul Fitri 1446 Hijriah atau Lebaran 2025 menjadi sorotan publik. Tren ini banyak diikuti oleh masyarakat dari berbagai kalangan dengan antusiasme tinggi. Namun, muncul perdebatan mengenai kemiripan gerakan tarian tersebut dengan tarian Hora yang berasal dari budaya Yahudi.

Tarian THR, atau yang kerap disebut sebagai “Tarian Pemanggil THR,” menjadi populer setelah banyak pengguna media sosial menirukan gerakan yang sederhana namun menarik perhatian.

Dalam berbagai unggahan, tarian ini diawali dengan langkah kaki ke kanan dan ke kiri, diikuti dengan lompatan kecil maju mundur. Kesederhanaan dan keseruannya membuat tren ini cepat menyebar.

Seiring meningkatnya popularitas tarian ini, sejumlah warganet membandingkannya dengan tarian Hora, tarian tradisional yang dikenal sebagai bagian dari budaya Yahudi. Hal ini memicu diskusi mengenai kemungkinan adanya unsur kesamaan di antara keduanya.

Tarian Hora: Budaya dan Makna Simbolik

Tari Hora bukan sekadar gerak ritmis di atas lantai dansa. Ia adalah manifestasi budaya, perayaan kebersamaan, dan simbol identitas dalam komunitas Yahudi Sephardic. Tari ini telah melintasi batas geografis dan zaman, tetap hidup sebagai bagian tak terpisahkan dari perayaan-perayaan penting, termasuk pernikahan dan festival keagamaan.

Hora berasal dari kawasan Balkan dan Timur Tengah, sebelum akhirnya menjadi bagian dari budaya Yahudi, khususnya di Israel. Dalam bentuknya yang klasik, tari ini berkembang dari tradisi rakyat yang diwarisi dari berbagai bangsa, seperti Rumania, Bulgaria, dan Yunani. Namun, komunitas Yahudi memberikan warna tersendiri, menjadikannya ekspresi kolektif yang merayakan persatuan dan semangat komunitas.

Dalam sejarah modern, Tari Hora semakin populer di kalangan imigran Yahudi di Israel pada awal abad ke-20. Tari ini menjadi bagian dari identitas nasional Israel, sering ditampilkan dalam perayaan kemerdekaan serta acara kebudayaan lainnya.

Hora ditarikan dalam lingkaran besar, dengan para penari saling berpegangan tangan dan bergerak dalam pola melingkar yang dinamis. Gerakan ini mencerminkan harmoni dan solidaritas dalam komunitas. Ritme yang cepat dan energi yang mengalir menandakan sukacita, sementara formasi lingkaran melambangkan kesatuan tanpa awal dan akhir.

Dalam berbagai kesempatan, Hora juga memiliki makna spiritual. Lingkaran dalam tarian ini kerap diartikan sebagai siklus kehidupan, perputaran nasib, serta ikatan yang tak terputus antara generasi.

Kemiripan yang Menjadi Sorotan

Beberapa video yang beredar menunjukkan bahwa gerakan dasar tarian THR, yakni langkah kanan-kiri dan lompatan kecil, menyerupai pola yang ada dalam tarian Hora. Hal ini menimbulkan berbagai reaksi dari netizen. Sebagian menganggap tarian THR hanya sebagai hiburan tanpa makna mendalam, sementara yang lain menyuarakan kekhawatiran mengenai pengaruh budaya luar yang tidak disadari.

Perdebatan semakin menghangat dengan munculnya pandangan dari berbagai kalangan. Beberapa netizen menilai bahwa mengikuti gerakan yang mirip dengan tarian budaya lain dapat menimbulkan polemik identitas.

Di sisi lain, ada yang berpandangan bahwa selama tarian ini tidak memiliki makna tertentu yang bertentangan dengan nilai budaya dan agama, maka tidak ada alasan untuk mempermasalahkannya.

Perspektif Agama dan Budaya

Dalam Islam, hiburan termasuk tarian selalu diukur dengan nilai-nilai syariat. Para ulama pun berbeda pandangan soal hukum menari. Ada yang membolehkan selama tidak mengandung unsur maksiat, seperti gerakan menggoda atau melalaikan ibadah. Namun, ada pula yang cenderung lebih hati-hati, menghindari segala bentuk tarian yang berpotensi menyerupai budaya di luar ajaran Islam.

Polemik soal tarian pemanggil THR yang dikaitkan dengan Hora, tarian tradisional Yahudi, memantik diskusi tentang batasan tasyabbuh “menyerupai budaya lain” dalam Islam. Hadis Nabi Muhammad SAW secara jelas melarang umatnya meniru kebiasaan kaum lain yang bertentangan dengan akidah Islam. Namun, sejauh mana batasan tersebut diterapkan, masih menjadi perdebatan.

Sebagian ulama berpegang pada niat. Jika tarian THR murni hiburan, tanpa unsur ritual atau keyakinan tertentu, maka dianggap tak bermasalah. Sebaliknya, jika tarian itu memiliki makna simbolik atau menjadi identitas budaya lain yang bertentangan dengan Islam, maka kewaspadaan diperlukan.

Dari perspektif budaya, tarian kerap menjadi ekspresi masyarakat yang terus berkembang. Perdebatan soal kemiripan tarian pemanggil THR dengan Hora menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap fenomena budaya yang masuk.

Ada yang beranggapan bahwa menjaga identitas budaya lokal penting, menghindari adopsi budaya asing tanpa pemahaman mendalam. Tapi ada pula yang melihat seni dan hiburan sebagai sesuatu yang universal, tak selalu terikat pada akar tradisi tertentu.

Sebagai negara dengan masyarakat majemuk, Indonesia kerap menghadapi benturan antara tradisi lokal dan pengaruh global. Dalam merespons tren seperti tarian THR, keseimbangan perlu dijaga. Kebebasan berekspresi harus tetap beriringan dengan kesadaran terhadap nilai budaya dan agama yang dianut mayoritas masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *