Penulis: Alkap Prayoga (Pekerja Buruh Harian Lepas)
Simpulindo.com, – Pagi itu, di ruang Paripurna Gedung DPR RI, suara palu sidang menggema, mengetuk nadi sejarah yang belum tuntas. Para petinggi negara berkumpul, membahas revisi Undang-Undang TNI, keputusan yang bagi sebagian orang adalah penyempurnaan, sementara bagi yang lain adalah awal dari lingkaran yang kembali ke titik semula.
RUU TNI kini sah menjadi undang-undang. Dalam satu ketukan palu, ketakutan yang pernah dikubur di tahun-tahun Reformasi mulai bangkit. Apakah ini langkah maju? Atau justru lorong gelap menuju masa ketika militer bukan hanya penjaga negeri, tetapi juga pengendali kebijakan?
Sejarah selalu punya cara untuk mengulang dirinya, kadang dalam wajah yang sama, kadang dalam rupa yang lebih halus. Hari ini, kita dipaksa untuk bertanya: apakah ini kebangkitan atau kemunduran? Apakah kita sedang membangun bangsa atau menggali lubang bagi demokrasi?
Jejak Panjang di Jalan Tengah
Dwifungsi ABRI bukan sekadar sejarah, melainkan sebuah doktrin yang pernah tertanam kuat dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dulu, di bawah payung Orde Baru, militer tidak hanya menjaga pertahanan, tetapi juga menduduki kursi kekuasaan. A.H. Nasution menyebutnya “konsep jalan tengah” sebuah upaya menciptakan keseimbangan, yang justru melahirkan dominasi.
Sejak 1970-an, perwira-perwira berseragam loreng mulai bermunculan di kursi legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif. Mereka bukan hanya penegak keamanan, tetapi juga pengambil keputusan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 mengokohkan posisi mereka, membuka jalan bagi keterlibatan aktif militer dalam urusan sipil. Politik, ekonomi, hingga sektor sipil, perlahan menjadi bagian dari ranah militer. Dalam satu garis komando, keputusan bisa diambil tanpa perlu melalui sistem demokrasi yang ideal.
Namun, ketika Reformasi 1998 mengguncang negeri, rakyat menuntut perubahan. Dwifungsi ABRI dianggap sebagai penghambat demokrasi. Salah satu tuntutan utama gerakan Reformasi adalah pemisahan militer dari ranah politik. Akhirnya, di bawah pemerintahan Gus Dur, TNI dipisahkan dari Polri, dan dwifungsi resmi dicabut. Demokrasi pun bernafas lega.
Tapi, apakah benar napas itu cukup panjang? Apakah demokrasi yang kita bangun masih memiliki jantung yang rapuh?
Bayangan Lama di Wajah Baru
Dua puluh lima tahun berlalu. Kini, bayangan itu kembali muncul, samar, namun nyata. Dengan disahkannya RUU TNI, diskusi tentang peran militer dalam pemerintahan kembali mencuat. Meskipun dikemas dalam bahasa yang lebih modern, tidak sedikit yang mencium aroma lama dalam undang-undang yang baru lahir ini.
Jika dulu, dwifungsi diberi tempat resmi dalam konstitusi, kini pertanyaannya berbeda: Akankah reformasi yang diperjuangkan mati-matian mulai tergerus? Akankah kita menyaksikan lagi keterlibatan aktif TNI dalam urusan sipil, dengan dalih menjaga stabilitas nasional?
Dalam politik, tidak ada kebetulan. Sejarah mengajarkan bahwa militer selalu memiliki daya tarik yang kuat bagi kekuasaan. Keamanan dijadikan tameng, stabilitas digunakan sebagai alasan. Tapi stabilitas macam apa yang sedang dibangun? Apakah demokrasi yang dinamis, atau authoritarianism dalam pakaian baru?
Kita tak bisa menutup mata bahwa sejarah telah mengajarkan betapa sulitnya melepaskan cengkraman militer dari arena politik. Satu langkah kecil, satu celah hukum, bisa membuka kembali pintu bagi kembalinya dominasi militer. Dan ketika itu terjadi, suara rakyat hanya akan menjadi riak kecil dalam samudra kekuasaan.
Demokrasi dalam Perlintasan Jalan
Sebuah negara hanya bisa tumbuh sehat jika demokrasi dijaga dengan sepenuh hati. Reformasi bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi janji yang seharusnya terus ditepati. Jika RUU TNI ini membuka kembali peluang bagi keterlibatan militer di ranah sipil, maka kita harus bertanya: di mana posisi rakyat dalam keputusan ini? Apakah ini kehendak demokrasi, atau kehendak segelintir elite yang ingin mengamankan posisinya?
Demokrasi sejatinya adalah tentang keseimbangan. Tapi, jika salah satu kekuatan memiliki terlalu banyak kendali, maka demokrasi berubah menjadi sekadar ilusi. Kita telah melihat bagaimana dominasi militer pernah menghilangkan suara rakyat, menciptakan ketakutan, dan membatasi kebebasan. Jika kita tidak waspada, kita akan kembali ke masa itu tanpa perlu menunggu waktu lama.
Hari ini kita menghadapi persimpangan: apakah kita akan tetap teguh dalam demokrasi yang kita perjuangkan, atau kita akan membiarkan militer kembali mengatur ritme kehidupan sipil?
Sejarah akan mencatat, dan generasi mendatang akan menilai: apakah kita berjuang untuk demokrasi, atau hanya menjadi saksi bisu ketika kekuasaan mengambil kembali apa yang dulu pernah mereka lepaskan?
Demokrasi di Ujung Pisau
Sejarah adalah guru yang setia, tetapi manusia sering kali jadi murid yang pelupa. Kita pernah berada dalam era di mana militer mengatur segalanya, dan kita berjuang keras untuk keluar dari sana. Kini, di persimpangan ini, kita harus memilih: menjaga demokrasi tetap murni atau membiarkan loreng kembali menorehkan jejaknya dalam pemerintahan sipil.
Hari ini, palu sidang telah diketuk. Tetapi suara rakyat belum selesai berbicara. Apakah kita masih memiliki keberanian untuk mempertahankan demokrasi yang kita perjuangkan? Atau kita hanya akan menjadi penonton dari sejarah yang kembali berulang?
Jika benar demokrasi adalah suara rakyat, maka biarkan suara itu menggelegar lebih lantang dari ketukan palu mana pun. Karena demokrasi sejati bukan hanya soal undang-undang yang disahkan di ruang sidang, tetapi juga tentang rakyat yang tak berhenti bertanya, mengkritik, dan memastikan bahwa negeri ini tetap berjalan di jalur yang benar. Kita telah belajar dari sejarah, dan kini saatnya kita menentukan apakah kita akan membiarkannya berulang, atau menciptakan lembaran baru yang lebih terang.