Penulis: Trizan A.M Hasan
Simpulindo.com, – Ketika demokrasi bertemu dengan kemiskinan struktural dan praktik politik yang manipulatif, maka hasilnya bukanlah kedaulatan rakyat, melainkan distorsi kehendak publik. Inilah yang kita saksikan dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Gorontalo Utara. Alih-alih menjadi koreksi atas prosedur demokrasi yang cacat, PSU justru menjadi panggung pengulangan luka, tentang bagaimana demokrasi lokal bisa direkayasa, ditunggangi, bahkan dijadikan alat justifikasi politik oleh segelintir elite yang memiliki akses pada sumber daya, baik ekonomi maupun hukum.
Di negeri ini, kita terlalu sering menjadikan prosedur sebagai satu-satunya ukuran demokrasi. Pemilu dianggap sah hanya karena telah digelar sesuai dengan tanggal, tahapan, dan peraturan teknis. Tetapi kita lupa, bahwa demokrasi tidak hanya berbicara tentang how melainkan juga why dan who. Siapa yang berpartisipasi, dengan kondisi seperti apa mereka ikut serta, dan sejauh mana keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan kehendak publik. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang tenggelam dalam narasi PSU Gorontalo Utara.
Secara formal, PSU merupakan respons atas pelanggaran pemilu yang dianggap signifikan. Namun dalam praktiknya, PSU lebih sering menjadi upacara administratif ketimbang koreksi substantif. Di Gorontalo Utara, kita menyaksikan bagaimana demokrasi disederhanakan menjadi perebutan suara, bukan perwujudan kehendak kolektif warga negara.
Dalam bingkai inilah, demokrasi prosedural kehilangan rohnya. Ia sekadar menjadi ajang rutin lima tahunan yang sarat dengan transaksionalisme dan patronase politik. Demokrasi dijalankan dalam bentuk, tetapi hampa dalam isi. Ini bukan sekadar masalah lokalitas, melainkan gambaran menyeluruh tentang betapa demokrasi di Indonesia terutama di daerah-daerah dengan kerentanan sosial tinggi masih dikendalikan oleh relasi kuasa yang timpang.
Kemiskinan Medan Subur untuk Manipulasi Politik
Kita tidak bisa berbicara demokrasi lokal tanpa mengaitkannya dengan konteks ekonomi-politik masyarakat setempat. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Gorontalo Utara memiliki tingkat kemiskinan sebesar 16,86% per Maret 2024, dengan hampir 19 ribu penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam lanskap seperti ini, pilihan politik bukanlah ekspresi bebas kehendak, tetapi respon atas tekanan hidup.
Kemiskinan membuat warga mudah dibeli, dalam arti harfiah maupun simbolik. Politik uang tidak sekadar menjadi alat suap elektoral, tetapi strategi sistematis untuk mengendalikan preferensi politik masyarakat. Ketika perut lapar dan kebutuhan dasar tak terpenuhi, idealisme akan mudah ditukar dengan kebutuhan sesaat. Demokrasi akhirnya menjadi pasar, tempat suara diperdagangkan, dan bukan ruang deliberatif tempat gagasan bersaing secara sehat.
Penegakan Hukum Seperti Pisau Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Dalam suasana yang semakin gaduh, publik dikejutkan oleh kabar penetapan enam kepala desa dan satu warga sebagai tersangka dalam kasus dugaan politik uang. Tuduhannya adalah menerima dana yang disebut-sebut sebagai “Tunjangan Hari Raya” dari salah satu kontestan. Meski begitu yang lebih mengejutkan bukanlah jumlah tersangka, melainkan fakta bahwa dari 78 kepala desa yang menerima dana serupa, hanya enam yang dikenai proses hukum.
Pertanyaan kritis pun muncul, mengapa hanya enam? Apakah mereka benar-benar pelaku utama, atau sekadar korban seleksi hukum yang tidak netral? Prinsip equality before the law yang tertuang dalam Pasal 27 UUD 1945 jelas menuntut perlakuan yang adil bagi semua warga negara.
Dalam konteks tersebut, penegakan hukum harus bebas dari tekanan politik dan harus didasarkan pada prinsip non-diskriminatif. Jika aparat penegak hukum hanya bertindak berdasarkan laporan, tanpa investigasi menyeluruh, maka hukum telah kehilangan fungsinya sebagai instrumen keadilan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 menegaskan bahwa meskipun laporan masyarakat penting sebagai pintu masuk, penyidik tetap wajib melakukan pemeriksaan terhadap pihak lain bila terdapat cukup alat bukti. Ketika hanya enam yang ditetapkan sebagai tersangka, padahal pola penerimaan dana seragam dan diketahui publik, maka kepercayaan publik pada institusi hukum pun terancam runtuh.
Selain itu, kejanggalan prosedural lain juga muncul ketika surat penyidikan dan surat penetapan tersangka diserahkan secara bersamaan, dan ironisnya, pada dini hari. Dalam sistem hukum kita, penyidikan harus diawali oleh Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang diketahui oleh pihak yang disidik. Namun, dalam kasus ini, surat penyidikan baru diterima bersamaan dengan surat penetapan tersangka. Artinya, selama dua minggu sebelumnya para kepala desa telah diperiksa tanpa status hukum yang jelas dan tanpa pemberitahuan resmi atas proses penyidikan.
Ini merupakan pelanggaran terang terhadap prinsip due process of law sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Tanpa prosedur hukum yang sah, maka segala bentuk pemeriksaan dan berita acara pemeriksaan (BAP) menjadi cacat hukum. Prosedur bukanlah formalitas; ia adalah instrumen untuk memastikan keadilan berjalan. Bila prosedur dilompati atau disiasati, maka bukan hanya pelaku yang kehilangan kepercayaan terhadap hukum, melainkan juga masyarakat luas.
Polarisasi Sosial
Di tengah semua kekacauan prosedural dan ketimpangan penegakan hukum, PSU Gorut juga meninggalkan luka sosial yang dalam, polarisasi di tingkat akar rumput. Informasi yang tersebar luas menyebutkan bahwa praktik adu domba politik menjadi senjata utama dalam memenangkan suara. Warga desa dipecah, relasi sosial dirusak, bahkan konflik keluarga tak terhindarkan.
Dengan rendahnya literasi politik dan derasnya arus disinformasi melalui media sosial, masyarakat tidak hanya kehilangan arah, tetapi juga kepercayaan. Politik menjadi ajang saling curiga, bukan dialog. Debat digantikan oleh agitasi, dan fakta dikalahkan oleh narasi penuh kebencian.
Ini adalah bentuk kolonisasi baru, bukan dilakuakn oleh kekuatan asing, tetapi oleh elite lokal yang memahami cara kerja sistem, dan mengeksploitasinya demi kepentingan sesaat. Demokrasi, dalam konteks ini, bukan lagi jalan menuju keadilan sosial, melainkan alat legitimasi bagi kekuasaan yang manipulatif.
Demikian, apa yang terjadi di Gorontalo Utara mestinya menjadi pelajaran bersama. Demokrasi tidak akan berjalan baik jika rakyat terus diposisikan sebagai objek yang hanya dijadikan angka di daftar pemilih, hanya jadi penerima sembako atau uang tunai menjelang pemilu. Demokrasi akan terasa hidup jika rakyat sadar bahwa suara mereka adalah kekuatan, bukan barang dagangan.
PSU ini hanyalah satu contoh dari banyak masalah dalam demokrasi lokal kita. Kalau cara-cara lama terus dibiarkan, maka pemilu lima tahun ke depan pun hanya akan mengulang luka yang sama. Perubahan harus dimulai dari hulu: dari cara partai merekrut calon, cara kampanye dilakukan, sampai cara penegak hukum menegakkan aturan.
Rakyat punya hak untuk memilih secara bebas, bukan karena tekanan, bukan karena iming-iming, dan bukan karena rasa takut. Negara harus hadir untuk menjamin hal itu. Bukan sebaliknya mala ikut menjadi bagian dari permainan yang menyimpang.