Peristiwa

Presiden BEM UG Kecam Kekerasan Polisi, Sebut Demokrasi Lokal Kian Terpuruk

×

Presiden BEM UG Kecam Kekerasan Polisi, Sebut Demokrasi Lokal Kian Terpuruk

Sebarkan artikel ini
Presiden BEM Universitas Gorontalo, Erlin Adam. Foto: Istimewa
Presiden BEM Universitas Gorontalo, Erlin Adam. Foto: Istimewa

Simpulindo.com, Gorontalo – Presiden BEM Universitas Gorontalo, Erlin Adam, mengecam tindakan represif aparat terhadap dua aksi damai mahasiswa di Gorontalo. Dua peristiwa yang terjadi di depan Polda Gorontalo dan DPRD Gorontalo Utara itu dinilainya sebagai bukti kian rapuhnya demokrasi lokal dan tumpulnya penegakan hukum di daerah.

Menurut Erlin, kekerasan yang dialami mahasiswa bukan sekadar insiden, melainkan gejala sistemik dari struktur kekuasaan yang korup dan tunduk pada kepentingan ekonomi tambang serta perilaku amoral pejabat politik.

“Kami mendesak Kapolri mencopot Kapolda Gorontalo dan Kapolres Gorontalo Utara. Kepemimpinan mereka gagal menjaga nalar hukum dan moral publik. Polisi bukan pelindung kebenaran, tapi pelindung kepentingan busuk,” kata Erlin, Kamis (6/11/2025).

Aksi pertama berlangsung di depan Polda Gorontalo, Rabu (5/11/2025), diikuti ratusan mahasiswa dari berbagai kampus. Mereka menuntut penindakan tegas terhadap aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang marak di Pohuwato, Boalemo, dan Bone Bolango. Aksi yang awalnya berjalan damai berakhir ricuh setelah aparat membubarkan massa secara paksa.

Presiden BEM Universitas Ichsan Gorontalo, Lutfi Juniarsyah, menjadi korban kekerasan saat mencoba menenangkan peserta aksi. Mahasiswa menilai Polda Gorontalo gagal menegakkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sementara aktivitas tambang ilegal yang diduga melibatkan oknum aparat dan pejabat daerah terus berlangsung tanpa sanksi.

Pada hari yang sama, Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPD) juga menggelar aksi di halaman DPRD Gorontalo Utara. Massa menuntut pemecatan dua anggota DPRD yang diduga terlibat dalam video amoral berdurasi 17 detik. Aksi itu pun berakhir bentrok ketika aparat menghadang mahasiswa yang hendak menggelar “sidang rakyat”. Dua mahasiswa, Jikran Kasadi (Sekjen BEM UNG) dan Wawan Setiyawan Gobel (Ketua HPMI-GU), mengalami kekerasan fisik.

Erlin menilai dua peristiwa itu tidak bisa dipisahkan. Baginya, keduanya mencerminkan wajah kekuasaan lokal yang kian kehilangan akal sehat.

“Ketika tambang ilegal dibiarkan dan politisi amoral dilindungi, sementara mahasiswa dipukul, maka hukum telah dikudeta oleh kepentingan. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi gejala state capture,” tegas Erlin.

Dalam pandangan teoritik, kondisi tersebut menggambarkan sistem hukum represif sebagaimana dijelaskan Philippe Nonet dan Philip Selznick, bahwa hukum dijalankan untuk menjaga kekuasaan, bukan keadilan. Polisi, dalam situasi demikian, bukan lagi pelindung hukum, melainkan alat kekuasaan.

Erlin mengutip pandangan Jürgen Habermas (1984) bahwa negara hukum yang sehat bertumpu pada rasionalitas komunikatif, dialog, dan moral publik. Namun, yang terjadi di Gorontalo justru sebaliknya: hukum dijalankan tanpa moral, tanpa akal sehat, dan tanpa ruang dialog.

“Negara hukum kehilangan akalnya. Ketika aparat lebih takut pada pengusaha tambang dan politisi mesum daripada mahasiswa, itu berarti Polri sedang sakit secara moral,” ucapnya.

Mahasiswa mendesak agar Kapolda Gorontalo dan Kapolres Gorontalo Utara segera dicopot karena dianggap gagal menjaga netralitas aparat.

Mereka juga meminta pembentukan tim independen nasional untuk mengusut keterlibatan aparat dan pejabat daerah dalam jaringan tambang ilegal serta perlindungan terhadap pejabat amoral.

Selain itu, mahasiswa menuntut pemulihan hak konstitusional dalam menyampaikan pendapat tanpa intimidasi.

“Kami tidak menuntut jabatan, kami menuntut akal sehat. Jika Kapolri membiarkan ini, maka hukum akan berubah menjadi alat kekuasaan yang bisu dan brutal,” ujar Erlin.

“Polri tidak boleh menjadi pelayan oligarki tambang dan moral bejat pejabat. Kami menolak negara yang bisu di hadapan uang, tetapi garang di hadapan mahasiswa,” tutup Erlin. (An/Simpulindo).


Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian, simpulindo.com berkomitmen menyajikan informasi factual dari lapangan. Ikuti perkembangan terbaru melalui saluran kami Klik Disini https://bit.ly/4n8h1GD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *