Penulis: Restia Mohi (Kader Kohati Cabang Gorontalo)
Simpulindo.com, – Dalam banyak pidato dan dokumen resmi pembangunan, kata “kesetaraan gender” kerap disebut dengan nada optimistis. Seolah bangsa ini telah menapaki jalan lurus menuju keadilan sosial antara laki-laki dan perempuan. Tetapi di balik narasi itu, realitas yang berlangsung di berbagai daerah Indonesia masih menunjukkan jurang yang lebar antara retorika dan kenyataan.
Di Pulau Sulawesi misalnya ketimpangan gender tidak hanya menjadi jejak sejarah, tetapi terus berlanjut sebagai praktik keseharian yang sulit dibongkar.
Pengarusutamaan gender atau PUG sebenarnya bukan konsep baru. Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada 1984, PUG sudah menjadi strategi resmi negara. Tujuannya adalah agar setiap kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan memperhitungkan pengalaman, kebutuhan, dan aspirasi perempuan dan laki-laki secara adil. Tapi hingga empat dekade setelahnya, pelaksanaan di lapangan masih tertatih-tatih.
Di Sulawesi, perempuan menghadapi tantangan ganda. Di satu sisi, mereka memikul peran besar dalam menjaga tatanan sosial, merawat budaya, dan mendidik generasi. Di sisi lain, peran tersebut kerap tak diakui dalam struktur kekuasaan formal. Representasi perempuan dalam lembaga legislatif masih minim. Keikutsertaan dalam proses perencanaan pembangunan pun sering kali bersifat simbolik. Ketimpangan ini diperparah oleh struktur sosial patriarkal yang mengakar dan budaya lokal yang kerap menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.
Luka Pascabencana dan Ketimpangan yang Tersingkap
Ketimpangan gender tak hanya terjadi dalam situasi normal. Dalam konteks bencana, perempuan sering kali menjadi kelompok paling rentan. Studi kasus di Sulawesi Tengah pascagempa dan tsunami 2018 menjadi pelajaran penting. Bencana yang meluluhlantakkan Palu, Sigi, dan Donggala tidak hanya menyisakan reruntuhan fisik, tetapi juga menelanjangi kelemahan sistem perlindungan sosial kita.
Laporan berbagai lembaga kemanusiaan menunjukkan bahwa perempuan di pengungsian menghadapi hambatan serius dalam mengakses bantuan. Ruang aman bagi perempuan dan anak minim. Layanan kesehatan reproduksi tak memadai. Banyak perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender dalam kondisi darurat. Situasi ini menunjukkan absennya perspektif gender dalam manajemen bencana. Padahal, kebijakan tanggap darurat semestinya menyasar kelompok paling rentan secara prioritas.
Dampak jangka panjang dari ketimpangan ini tidak kecil. Ketika kebutuhan perempuan tak terpenuhi dalam situasi krisis, maka proses pemulihan akan timpang. Perempuan terpaksa menanggung beban tambahan dalam keluarga dan komunitas, tanpa dukungan memadai dari negara. Ini bukan semata masalah kemanusiaan, tetapi kegagalan kebijakan publik dalam merespons secara adil.
Perempuan di Gorontalo
Lompatan ke Provinsi Gorontalo menghadirkan dinamika serupa. Secara statistik, tingkat partisipasi perempuan dalam pendidikan cukup tinggi. Banyak perempuan Gorontalo yang menempuh pendidikan tinggi, menjadi guru, dosen, bahkan aktivis sosial. Tapi partisipasi politik mereka masih jauh dari harapan. Representasi perempuan di DPRD kabupaten/kota maupun provinsi belum menyentuh angka ideal.
Di tingkat desa, kehadiran perempuan dalam struktur pemerintahan nyaris tak tampak. Musyawarah pembangunan desa (Musrenbangdes), yang semestinya menjadi ruang partisipatif, kerap didominasi oleh laki-laki. Akibatnya, kebutuhan spesifik perempuan sering tak terakomodasi. Infrastruktur desa dirancang tanpa mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan bagi perempuan. Program ekonomi lebih sering menyasar sektor maskulin, sementara keterampilan perempuan terpinggirkan.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa ruang aktualisasi perempuan di Gorontalo masih sempit. Perempuan kerap dibatasi perannya pada ranah domestik dan sosial, sementara urusan politik dan kebijakan dianggap milik laki-laki. Ini bukan hanya persoalan budaya, tetapi juga soal kebijakan yang tak berpihak.
Padahal sejarah mencatat bahwa perempuan Gorontalo pernah menjadi pemimpin dan penggerak perubahan. Sarinah Wartabone, putri sulung Pahlawan Nasional Nani Wartabone, adalah salah satu contohnya.
Dalam usia remaja, Sarinah Wartabone ikut masuk hutan, mendukung perjuangan ayahnya melawan kolonialisme, hingga turut dalam penggalangan logistik dan perlawanan pada masa-masa kritis. Bahkan, Presiden Soekarno mengganti namanya dari Saroina menjadi Sarinah sebagai bentuk penghormatan atas kiprah dan keteguhan semangatnya.
Sosok seperti Sarinah membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah pengecualian dalam sejarah Gorontalo, melainkan bagian dari nadi perjuangan daerah.
Sayangnya, warisan itu belum sepenuhnya dihidupkan kembali dalam politik dan pemerintahan masa kini.
Peran Organisasi Mahasiswa
Perubahan budaya dan struktur sosial membutuhkan aktor yang mampu mendorong transformasi dari bawah. Dalam konteks ini, organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Korps HMI-Wati (KOHATI) memainkan peran penting. Mereka tak hanya menjadi ruang kaderisasi intelektual, tetapi juga arena pembentukan perspektif keadilan gender.
Restia Mohi, kader KOHATI Cabang Gorontalo, menyoroti pentingnya pendidikan kesetaraan sejak dini. Menurutnya, gerakan mahasiswa harus mulai menyasar akar-akar patriarki yang tumbuh di masyarakat. Edukasi publik, diskusi terbuka, pelatihan kepemimpinan perempuan, dan advokasi kebijakan bisa menjadi instrumen perubahan.
Restia mengingatkan bahwa pengarusutamaan gender bukan soal menyaingi laki-laki, melainkan soal membangun kemitraan yang adil. Perempuan dan laki-laki harus berjalan beriringan dalam setiap tahap pembangunan, dari perencanaan hingga evaluasi. Jika perempuan terus dikesampingkan, maka pembangunan akan timpang, tidak berkelanjutan, dan jauh dari cita-cita keadilan sosial.
KOHATI dan organisasi sejenis harus bergerak melampaui simbolisme. Tak cukup berhenti pada deklarasi dan seminar, tetapi harus masuk dalam pusaran kebijakan. Advokasi penguatan regulasi perlindungan perempuan, kampanye anti-kekerasan gender, serta keterlibatan dalam pengawasan anggaran publik menjadi langkah konkret yang bisa diambil.
Menyusun Agenda Politik Kesetaraan
Di level kebijakan, perlu ada keberanian politik untuk mengubah peta kekuasaan yang timpang. Kuota perempuan dalam politik harus dipenuhi bukan sebagai formalitas, melainkan sebagai langkah strategis memperkuat demokrasi. Pemerintah daerah wajib memastikan bahwa setiap program dan anggaran disusun dengan mempertimbangkan analisis gender. Ini bukan hanya tanggung jawab dinas pemberdayaan perempuan, tetapi semua sektor.
Pendidikan publik juga harus diperkuat. Kurikulum pendidikan dasar hingga tinggi perlu memasukkan materi kesetaraan gender secara sistematis. Buku pelajaran harus bebas dari stereotip dan bias gender. Guru dan tenaga pendidik perlu dilatih untuk memahami perspektif gender agar mampu mentransformasikan nilai-nilai keadilan kepada siswa.
Media massa pun memegang peran vital. Framing berita tentang perempuan tak boleh lagi melanggengkan citra lemah dan pasif. Kisah kepemimpinan perempuan, keberhasilan mereka di tengah keterbatasan, hingga perjuangan melawan diskriminasi harus diperbanyak. Media yang sensitif gender bisa menjadi alat perubahan sosial yang kuat.
Kesetaraan sebagai Fondasi Pembangunan
Kesetaraan gender bukanlah agenda pinggiran. Ini adalah fondasi dari pembangunan yang berkelanjutan. Tanpa kesetaraan, tidak akan ada keadilan. Tanpa keadilan, tidak ada kemajuan yang bisa dirasakan bersama. Negara dan masyarakat tak bisa terus membangun di atas ketimpangan.
Sulawesi, dengan keberagaman etnik dan budaya, seharusnya bisa menjadi laboratorium keadilan sosial. Gorontalo, dengan sejarah egalitarian dan nilai budaya “huyula” (gotong royong), bisa menjadi pelopor dalam mendorong partisipasi perempuan. Tapi itu semua butuh komitmen. Butuh kebijakan. Butuh keberanian untuk mendobrak kemapanan yang timpang.
Gerakan menuju kesetaraan gender tidak bisa ditunda. Perempuan tidak lagi bisa menunggu ruang kosong yang tak kunjung disediakan. Mereka harus masuk, merebut ruang, dan menjadi subjek dari pembangunan.
Karena kesetaraan bukan soal siapa lebih kuat, tetapi siapa yang diberi kesempatan untuk tumbuh. Dan jika perempuan diberdayakan, maka Gorontalo, Sulawesi, dan Indonesia akan menjadi bangsa yang benar-benar adil dan maju.