Simpulindo.com, – Pengarusutamaan gender di Indonesia merupakan agenda besar yang telah dirumuskan secara nasional melalui kebijakan, program, hingga sistem anggaran. Namun, meskipun telah ada banyak regulasi dan inisiatif pemerintah, kenyataannya masih terdapat kesenjangan nyata antara laki-laki dan perempuan, baik dalam akses ekonomi, pendidikan, partisipasi politik, maupun perlindungan hukum.
Dalam praktiknya, pengarusutamaan gender masih belum sepenuhnya membumi. Ia tampak megah di atas kertas, tetapi sering terhambat oleh budaya patriarki, stereotip sosial, dan kurangnya komitmen struktural yang berkelanjutan.
Dalam ranah politik, representasi perempuan di parlemen nasional masih berada di kisaran 21%, di bawah rata-rata global yang sudah mencapai 26%. Angka ini mencerminkan masih terbatasnya akses perempuan dalam pengambilan keputusan strategis. Padahal, keberadaan perempuan dalam posisi pengambilan kebijakan sangat penting untuk memastikan bahwa kepentingan dan perspektif perempuan turut diakomodasi dalam kebijakan negara.
Sayangnya, proses politik masih kerap didominasi oleh pandangan patriarkis yang meragukan kapasitas perempuan. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, perempuan yang terpilih kerap tidak mendapatkan dukungan penuh dari partainya sendiri atau justru hanya dijadikan pelengkap kuota tanpa ruang aktual untuk berperan aktif.
Dalam hal ini perempuam membuktikan bahwa perempuan juga bisa untuk berpartisipasi dalam ranah politik. Hal ini berdasarkan data KPU 2024 yang dimana angka persentase perempuan dalam lembaga legislatif sudah mencapai angka 37,7%. Meskipun ada kebijakan afirmasi 30% keterwakilan perempuan dalam Pemilu, angka ini menunjukkan bahwa perempuan telah melampaui kuota tersebut.
Kondisi ini menjadi semakin kompleks ketika berbenturan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang ditafsirkan secara sempit. Di berbagai daerah, masih ditemukan pandangan bahwa tempat perempuan adalah di ranah domestik, dan bahwa kepemimpinan adalah kodrat laki-laki. Pandangan seperti ini bukan hanya merugikan perempuan, tapi juga merugikan masyarakat secara luas karena menghambat kontribusi separuh dari populasi bangsa. Untungnya, Indonesia juga menyaksikan lahirnya gerakan perempuan progresif berbasis agama, seperti Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), yang berhasil menunjukkan bahwa ajaran Islam justru mendukung kesetaraan dan keadilan gender, dan bahwa perempuan memiliki legitimasi penuh dalam menjadi pemimpin dan pengambil kebijakan.
Pengarusutamaan gender seharusnya tidak berhenti pada dokumen perencanaan atau seminar-seminar pemerintah. Ia harus menjadi praktik yang hidup dalam semua lini kebijakan dan kehidupan sosial. Dari sistem pendidikan yang mengajarkan kesetaraan sejak dini, hingga dunia kerja yang mendukung perempuan dan laki-laki secara adil, serta kebijakan publik yang tidak bias gender.
Sebuah negara tidak akan benar-benar adil dan maju jika setengah dari penduduknya terus dibatasi oleh norma dan sistem yang diskriminatif. Indonesia sudah memiliki landasan hukum dan kebijakan yang cukup. Tantangannya kini adalah keberanian untuk benar-benar mengubah cara pandang dan praktik kelembagaan, dari pusat hingga desa. Pengarusutamaan gender bukan agenda perempuan semata, tapi agenda keadilan bangsa