Simpulindo.com, Butur – Delapan belas tahun usia Kabupaten Buton Utara (Butur) adalah fase belia dalam perjalanan sebuah daerah otonom. Butur ibarat pohon yang baru saja menegakkan batangnya, daun-daunnya mulai rindang, tetapi akarnya belum sepenuhnya mencengkeram bumi dengan kokoh. Dalam usia muda seperti ini, wajar jika kita menemukan cabang yang rapuh, daun yang mudah layu, bahkan beberapa tunas yang gagal tumbuh.
Sayngnya, politik kita kerap memperlakukan tunas rapuh itu bukan dengan penyiraman air kehidupan, melainkan dengan saling cabik dan menebas. Padahal, jika kita menyadari benar makna otonomi daerah, mestinya ini adalah jalan untuk mempercepat pemerataan pembangunan, membuka peluang kerja, mengentaskan kemiskinan, dan memuliakan harkat warga di kampung-kampung terpencil. Otonomi adalah wahana memperbesar kebersamaan dalam mengelola sumber daya lokal, bukan memperuncing perbedaan demi kuasa jangka pendek.
Tulisan panjang yang disampaikan oleh Nurlin selaku Sekretaris TACB Kab. Buton Utara sungguh menyentuh relung perenungan. Betapa tidak, di balik geliat pembangunan, jalan yang makin panjang terbentang, listrik yang lebih lama menyala, sinyal telepon yang makin sering hadir, terselip kegamangan sosial-politik yang tak kalah nyata. Polarisasi internal menjadi benalu di batang muda Buton Utara. Kita menjadi mirip kawan-kawan di Athena dan Sparta yaitu bersatu saat ada ancaman luar, tetapi segera terpecah manakala musuh bersama lenyap.
Sesungguhnya, pengalaman delapan belas tahun ini bisa menjadi cermin jernih. Kita perlu bertanya, untuk apa daerah ini dimekarkan? Apakah hanya agar segelintir elite lebih mudah memegang kendali birokrasi dan proyek untuk menopang kekuatan politik tertentu, ataukah untuk membebaskan masyarakat dari lilitan ketertinggalan ekonomi, kebodohan, dan kesenjangan antarwilayah.
Bahaya Politik Ekstraktif bagi Daerah Muda
Kita patut membaca ulang pelajaran dari Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail. Mereka mengurai dengan gamblang bagaimana negara atau daerah yang dikelola dengan institusi politik ekstraktif, yakni politik yang menutup ruang bagi partisipasi luas, menghisap sumber daya hanya untuk segelintir, memonopoli akses kebijakan demi melanggengkan patronase, akan terjebak pada lingkaran kegagalan.
Dalam wajah lokal, politik ekstraktif ini tampak dari birokrasi yang menjadi perpanjangan tangan kelompok pemenang pemilu. Aparatur sipil dipilih bukan karena kapabilitas, tetapi loyalitas. Mutasi dan promosi didikte preferensi politik, bukan kepantasan profesional. Maka lahirlah birokrasi gamang, takut mengambil kebijakan rasional jika tak sesuai arah politik patronnya. Padahal birokrasi adalah tulang punggung pembangunan daerah. Jika tulang punggung ini rapuh, maka badan Buton Utara tak akan tegap berdiri.
Dalam jangka panjang, pola ekstraktif menggerogoti kreativitas. Orang-orang berhenti berpikir inovatif karena sadar, untuk naik pangkat atau mendapatkan proyek, bukan ide dan kerja keras yang dihitung, melainkan siapa yang mereka dukung saat pilkada lalu.
Sebagai seorang masyarakat kecil yang berasal dari salah satu desa kecil, Kab. Buton Utara, izinkan saya menegaskan bahwa pembangunan sejati tidak cukup diukur dengan panjang jalan beraspal, luas jaringan listrik, atau tingginya gedung perkantoran. Semua itu hanya sarana. Substansi dari pembangunan adalah tumbuhnya kualitas hidup manusia, munculnya rasa keadilan, dan lestarinya lingkungan hidup agar bisa diwariskan pada generasi mendatang.
Karena itu, Buton Utara memerlukan pergeseran cara pandang. Dari cara berpikir sempit, yang hanya menghitung siapa lawan siapa kawan, menjadi cara pandang luas yang memeluk semua warga tanpa membeda-bedakan. Dari pola “pemenang merangkul semua,” menuju sistem meritokrasi, yakni siapa pun yang mampu, yang berintegritas, dialah yang diamanahi tugas pembangunan.
Itulah hakikat politik inklusif. Politik yang membuka ruang partisipasi seluas-luasnya. Bukan hanya saat kampanye, ketika suara rakyat diburu mati-matian, tetapi juga dalam proses penyusunan program dan pengawasan pelaksanaan pembangunan. Masyarakat tak lagi sekadar “massa pendukung,” melainkan subjek berdaulat yang berhak menagih janji, memberi kritik, dan ikut memelihara capaian pembangunan.
Mengukir Jalan Panjang, Dari Polarisasi ke Kolaborasi
Persoalan polarisasi tidak bisa diselesaikan hanya dengan menasihati elite politik agar berhenti membalas dendam. Kita butuh pranata yang menopang kerja sama lintas kelompok. Misalnya dengan memperkuat forum musyawarah pembangunan yang partisipatif sejak tingkat desa, memperbaiki rekrutmen ASN agar transparan, dan membuka data anggaran publik agar masyarakat bisa ikut mengawasi.
Lebih jauh lagi, para pemimpin Buton Utara perlu sadar, kelanggengan kekuasaan yang dibangun di atas sekat-sekat permusuhan adalah menanam bom waktu. Sebab cepat atau lambat, dendam yang diwariskan akan meledak, merusak fondasi sosial, dan memecah belah warga yang semestinya bergandengan tangan.
Dalam kerangka keberlanjutan, kita mesti ingat, daerah ini bukan hanya milik kita hari ini. Ia adalah warisan bagi anak cucu. Jika politik hanya dijadikan ajang saling mencakar, maka kita sedang mewariskan tanah yang retak-retak, tempat benih masa depan sulit tumbuh. Sebaliknya, bila kita menanam kerja sama, saling menguatkan di atas keberagaman, maka kita sedang memupuk tanah subur bagi pohon masa depan Buton Utara yang kokoh dan rimbun.
Harapan Tak Pernah Usai
Saya memahami, merajut inklusivitas dalam masyarakat yang sudah terlanjur terbiasa polarisasi ibarat menimba air di sumur keruh. Sulit dan lambat. Tapi tak ada pembangunan sejati tanpa fondasi kebersamaan. Karena itu, kita tak boleh berhenti berharap. Harapan adalah bahan bakar bagi langkah-langkah kecil yang konsisten memperbaiki keadaan.
Buton Utara memang masih muda, masih mencari jati diri, masih kerap tersandung oleh pertikaian politik yang dangkal. Di balik itu semua, daerah ini memiliki potensi besar untuk maju. Tanahnya subur, lautnya kaya, budayanya luhur, dan rakyatnya tabah. Tinggal bagaimana kita memastikan politik menjadi jalan pengabdian, bukan medan tempur kepentingan sempit.
Dalam napas panjang pembangunan berkelanjutan, marilah kita ubah wajah politik Buton Utara, dari eksklusif menjadi inklusif, dari ekstraktif menjadi partisipatif, dari dendam menjadi kerja sama. Sebab pada akhirnya, hanya dalam kebersamaanlah pohon kemajuan dapat tumbuh tinggi, rindang, dan meneduhi kita semua.