Merayakan Kartini, Merayakan Cita-cita Setiap Perempuan Indonesia

 Simpulindo.com, – Hari ini, 21 April, bangsa ini kembali mengenang seorang perempuan dari Jepara yang kelahirannya lebih dari seabad silam masih menyisakan gema dalam kesadaran kolektif kita. Raden Ajeng Kartini, lahir pada 1879 di Desa Mayong, tumbuh dalam lingkungan ningrat Jawa yang kaku dan patriarkal. Namun, dari ruang-ruang sunyi pingitan dan pembatasan tradisi, Kartini menyalakan lentera yang kelak menerangi jalan panjang perjuangan kesetaraan perempuan di tanah air.

Kartini bukan hanya simbol. Kartini adalah narasi yang hidup. Sebuah wujud perlawanan dalam sunyi, yang menjelma gagasan besar melalui surat-suratnya yang kini abadi: Habis Gelap, Terbitlah Terang.

Dalam tulisannya, Kartini menolak untuk tunduk pada nalar budaya yang meletakkan perempuan pada derajat subordinat. Ketika hak-hak dasar seperti pendidikan dan kebebasan berpikir direnggut hanya karena jenis kelamin, maka jelas bahwa ketidakadilan telah menjadi sistemik.

Kartini lahir dalam sebuah masyarakat yang memelihara konstruksi ketimpangan. Tradisi pingit tidak hanya mengurung tubuh, tetapi juga mengurung potensi. Perempuan diperlakukan seperti burung dalam sangkar, hidup, namun tak bisa terbang. Inilah yang dilawan Kartini: dominasi sistemik atas tubuh dan pikiran perempuan.

Di belahan dunia lain, Mary Wollstonecraft, pemikir feminis dari Inggris pada abad ke-18, pernah menulis bahwa “pikiran tidak memiliki jenis kelamin.” Sebuah ungkapan yang sejiwa dengan Kartini. Keduanya berdiri dalam garis sejarah yang sama, mengusung kesetaraan sebagai hak asasi, bukan kemurahan hati dari struktur yang mapan.

Kini, lebih dari seabad setelah kelahiran Kartini, emansipasi perempuan telah mengalami metamorfosis. Ia tak lagi sekadar slogan di meja-meja seminar atau penggalan pidato seremonial. Emansipasi menjelma dalam gerakan sosial, kerja-kerja kolektif, dan komunitas yang konsisten mendampingi perempuan akar rumput. Dalam rupa desa binaan, dalam kerja NGO yang konsen pada isu perempuan dan anak, emansipasi mengambil bentuk paling konkret, mencegah kekerasan, membuka akses pendidikan, mendukung ekonomi kreatif, hingga mendorong perempuan ke dalam arena politik.

Namun jalan masih panjang. Ruang-ruang publik masih menyisakan bias struktural. Edukasi berperspektif gender masih belum menjadi arus utama. Banyak perempuan masih terkunci dalam narasi lama, terkungkung oleh stigma, struktur sosial, dan kemiskinan kesempatan.

Karena itu, peringatan Hari Kartini seharusnya bukan seremoni simbolik semata. Ini mesti dimaknai sebagai refleksi sekaligus komitmen baru untuk menyudahi warisan ketimpangan. Kartini sejati hari ini adalah para perempuan yang bergumul di pelosok, membangun harapan dari akar rumput. Mereka ada di balik kelas pendidikan perempuan di desa, di antara para pendamping korban kekerasan, di dalam ruang-ruang sunyi tempat perempuan mencari suaranya kembali.

Kita kiranya perlu mengingat lagi ungkapan Kartini: “Cita-cita itu ialah memperindah martabat manusia, memuliakanmu, mendekatkan pada kesempurnaan.” Sebab pada akhirnya, perjuangan perempuan bukan tentang menandingi laki-laki, melainkan tentang memanusiakan manusia. Dan dari gelap yang panjang, terang itu terus menyala tanpa henti.

Penulis: Mega Anastasya Diska Mokoginta

– Aktivis Perempuan dan Pengiat Sosial
– ⁠Duta Maritim Indonesia Sulawesi Utara
– ⁠Duta Inspirasi Indonesia Sulawesi Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *