Simpulindo.com, – Komisi IX DPR RI kembali mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan layanan kesehatan sebagai komoditas ekonomi. Dalam rapat Panitia Kerja Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Kompleks Parlemen, anggota Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati, menyatakan bahwa negara wajib menjamin kesehatan sebagai hak dasar setiap warga.
“Konstitusi sudah sangat jelas. Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, serta Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Nomor 40 Tahun 2004 menegaskan bahwa pelayanan kesehatan adalah hak, bukan barang dagangan,” Kata Kurniasih, Kamis (8/5/2025).
Kurniasih menyoroti belum selarasnya persepsi antarpemangku kepentingan di Panja JKN. Baginya, kekeliruan dalam menempatkan kesehatan sebagai komoditas bisa berujung pada kebijakan yang mencederai kepentingan publik.
“Kalau persepsi ini tidak disamakan sejak awal, hasil kerja Panja hanya akan menjadi dokumen formalitas,” ujarnya.
Pernyataan itu muncul di tengah sorotan terhadap buruknya tata kelola data dalam sistem JKN. Data peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) disebut bermasalah. Banyak warga yang sebelumnya tercatat sebagai peserta justru tiba-tiba kehilangan hak akses ke layanan kesehatan. “Sistemnya jelas tidak berjalan semestinya. Ini pekerjaan rumah yang tak kunjung tuntas,” ucap Kurniasih.
Ia juga mengkritik pemutusan kepesertaan PBI yang berlangsung tanpa pemberitahuan. Kasus semacam ini, menurutnya, terjadi berulang.
“Bayangkan seseorang yang kemarin masih tercatat sebagai penerima bantuan, lalu hari ini namanya hilang saat hendak berobat dalam kondisi kritis. Situasi semacam itu benar-benar merugikan rakyat,” ujarnya.
Masalah lain yang mencuat adalah lemahnya pengawasan terhadap penyelenggaraan JKN di lapangan. Kurniasih mengungkap adanya praktik kecurangan di sejumlah rumah sakit dan klinik, namun menyayangkan bahwa tidak semua kesalahan berasal dari fasilitas kesehatan. Banyak tagihan yang tak kunjung dibayar akibat sengketa administratif.
“Kalau rumah sakit terus-menerus merugi karena klaim tidak cair, bagaimana bisa mereka bertahan?” katanya.
Di sisi lain, jumlah peserta nonaktif JKN juga menjadi perhatian. Berdasarkan data Panja, ada sekitar 55,5 juta peserta nonaktif. Dari jumlah itu, sekitar 27 persen menunggak iuran, sementara 73 persen sisanya dikeluarkan dari kepesertaan PBI maupun PBPU Pemda akibat pemutusan hubungan kerja.
“Sebagian besar dari mereka memang tidak mampu membayar. Ini bukan soal kemauan, tapi ketidakmampuan,” ujar politisi dari Fraksi PKS itu.
Kondisi ini dinilai berpotensi membebani pemerintah daerah. Ketika gelombang pemutusan kerja terus berlangsung, daerah harus menanggung dampaknya.
“Pada akhirnya, kepala daerah yang pusing. Semua masalah itu berujung ke daerah,” kata Kurniasih.
Menutup pernyataannya, Kurniasih mendesak Panja JKN menghasilkan rekomendasi yang konkret dan bisa dieksekusi.
“Jangan berhenti pada retorika. Masalah ini sudah terlalu lama menjadi lingkaran tanpa solusi. Sudah saatnya Panja JKN melahirkan langkah nyata,” tandasnya.