Keadilan yang Membisu: Catatan atas Putusan Tom Lembong

Penulis: Yandi Mooduto (Pegiat Sosial)

Simpulindo.com, – “Satu vonis pengadilan terhadap Tom Lembong cukup untuk membungkam banyak suara berintegritas di pemerintahan. Jika hukum digunakan untuk menghukum keberanian dan ketulusan, maka ia bukan lagi alat keadilan—melainkan senjata politik yang siap menarget siapa pun yang berbeda.”

Ketika mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara oleh pengadilan atas dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam kasus impor gula dan peranannya di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), banyak pihak terkejut. Tom Lembong dikenal luas sebagai pejabat publik yang memiliki integritas tinggi, berpandangan reformis, dan berani mengambil keputusan untuk kepentingan publik. Maka, putusan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah sistem hukum kita masih berpihak pada keadilan substantif, atau justru terjebak dalam formalitas prosedural yang mekanistik?

Dalam pernyataannya usai vonis dibacakan, Tom menyampaikan, “Saya terbukti tidak punya mens rea, tidak punya niat jahat.” (Hukumonline.com, 18 Juli 2025). Pernyataan ini bukan sekadar pembelaan, melainkan refleksi kritis atas sistem hukum yang tampaknya mengabaikan prinsip dasar dalam hukum pidana: bahwa niat jahat (mens rea) harus dibuktikan untuk menjatuhkan pidana.

Kriminalisasi Kebijakan?

Menurut laporan Briefing Paper: Politicization of Legal Instruments oleh Indonesia Corruption Watch (ICW, 2024), proses penetapan tersangka dalam kasus ini terkesan terburu-buru dan minim bukti atas unsur niat jahat. Padahal dalam doktrin hukum pidana klasik (Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002), niat merupakan elemen esensial dalam menentukan apakah suatu perbuatan layak dipidana. Konsekuensi administratif dari suatu kebijakan tidak serta-merta dapat dikriminalisasi, apalagi jika dilakukan dalam konteks diskresi kebijakan untuk menghadapi situasi krisis.

Lebih dari itu, kasus ini mencerminkan fenomena yang disebut sebagai “kriminalisasi kebijakan” yakni penarikan keputusan administratif atau diskresioner ke ranah hukum pidana tanpa pembuktian unsur penyalahgunaan kekuasaan secara personal. Dalam Laporan Buku Putih Revisi KUHP oleh ELSAM (2022), fenomena ini telah berulang kali dikritik karena merusak ruang pertimbangan rasional dalam birokrasi dan melemahkan semangat reformasi institusional.

Sebagaimana dikemukakan John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), keadilan tidak hanya terletak pada prosedur, tetapi pada hasil yang dapat diterima secara moral dan rasional oleh masyarakat luas. Ketika seorang tokoh dengan rekam jejak bersih justru dihukum tanpa bukti niat jahat, maka yang tercoreng bukan hanya nama individu tersebut, tetapi juga kredibilitas sistem hukum itu sendiri.

Pendekatan hukum progresif ala Satjipto Rahardjo (2006) mengajarkan bahwa “hukum bukan sekadar teks, melainkan konteks.” Hukum yang dipraktekkan secara kaku, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan moral dari tindakan seorang pejabat publik, akan menjelma menjadi instrumen kekuasaan yang legal tetapi tidak adil. Dalam situasi darurat atau pasca krisis, diskresi kebijakan yang diambil dengan itikad baik seharusnya mendapat ruang legal yang cukup, bukan justru dijadikan alat kriminalisasi.

Preseden yang Mengancam Masa Depan

Sayangnya, kasus Tom bukanlah yang pertama. Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana Prof. Yohanes Surya, melalui program hibah pendidikan di Papua, serta Ignasius Jonan, saat menjalankan reformasi sektor transportasi, juga menghadapi tekanan hukum. Dalam banyak kasus, pembacaan hukum cenderung bersifat tekstual dan formalistik, bukan substantif dan kontekstual.

Komnas HAM dalam Laporan Tahunan 2023 menyoroti lemahnya perlindungan hukum terhadap pejabat publik yang menjalankan diskresi kebijakan. Hal ini mengancam prinsip meritokrasi dan justru mendorong “brain drain” dalam birokrasi. Pejabat yang berintegritas dan berpikir visioner bisa jadi memilih menjauh karena khawatir dikriminalisasi akibat kebijakan yang tidak populer meski dibutuhkan.

Dalam konteks demokrasi yang sehat, seharusnya ada perlindungan bagi pengambil kebijakan yang bertindak demi kepentingan publik, sebagaimana diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC, 2003). Negara-negara anggota diminta menjamin perlindungan hukum terhadap individu yang melaporkan korupsi atau bertindak atas nama reformasi kelembagaan. Sayangnya, implementasi di Indonesia masih lemah.

Peran Publik

Kita sebagai warga negara tidak dapat bersikap pasif. Diperlukan kontrol sosial yang kuat dan ruang partisipasi publik yang terbuka untuk menjaga kewarasan hukum. ICW (2024) menyebutkan bahwa penguatan partisipasi publik adalah kunci agar hukum tidak menjadi alat kekuasaan yang membabi buta.

Lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial, Ombudsman, dan Komnas HAM perlu memperkuat mekanisme pemantauan dan evaluasi proses peradilan. Sementara itu, dunia kampus sebagai lokus produksi pengetahuan harus mendorong diskusi terbuka dan kritis terhadap praktik hukum yang menyimpang dari nilai keadilan substantif. Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya juga harus membuka ruang untuk pengujian publik dan etika, bukan hanya bersandar pada legalisme yang steril dari nilai kemanusiaan.

Kasus Tom Lembong bukan sekadar kasus personal. Ia mencerminkan arah hukum kita hari ini. Bila hukum terus digunakan untuk menghukum niat baik dan inisiatif reformis, maka ia bukan lagi alat keadaban, melainkan alat represi. Kita semua akan menanggung akibatnya jika hukum dibiarkan menjauh dari akal sehat dan keadilan sosial.

Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, “hukum yang baik bukanlah hukum yang sempurna secara logika, melainkan hukum yang mampu melayani manusia secara adil.” Maka, sudah saatnya publik bersuara. Hukum yang sehat harus membela integritas, bukan menghancurkannya. Karena jika tidak, bukan hanya Tom yang kalah, tetapi seluruh rakyat Indonesia yang kehilangan harapan pada masa depan yang adil dan beradab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *