Hak Komunal dan Hak Ulayat, Jantung RUU Masyarakat Adat

Simpulindo.com, Jakarta – Tanah dan wilayah adat bukan semata lahan atau aset ekonomi. Bagi masyarakat adat, hak ulayat dan hak komunal adalah nafas kehidupan, simbol hubungan spiritual, sosial, dan ekologis dengan ruang hidup yang diwariskan turun-temurun.

Hak komunal sebagaimana diatur dalam Permen ATR/BPN No. 9 Tahun 2015 dan No. 10 Tahun 2016 merupakan hak kepemilikan kolektif masyarakat adat maupun bukan adat. Sementara hak ulayat yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengacu pada penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan wilayah adat yang melekat pada komunitas adat secara turun-temurun. Persinggungan keduanya kerap dipolitisasi sebagai bagian dari pemenuhan hak konstitusi.

Isu ini menjadi pokok bahasan dalam dialog publik bertajuk “Hak Komunal dan Hak Ulayat dalam RUU Masyarakat Adat” yang digelar Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat bersama Forest Watch Indonesia di Jakarta, (25/8/2025).

Forum menghadirkan perwakilan legislatif, akademisi, dan masyarakat sipil untuk membahas substansi RUU sekaligus mengurai kebuntuan politik yang menghambat proses legislasi.

Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Badan Legislasi DPR RI, I Nyoman Parta, menilai perdebatan nama rancangan undang-undang masih muncul, apakah menjadi UU Masyarakat Adat atau UU Masyarakat Hukum Adat.

“Ada kekhawatiran lahirnya feodalisme baru, raja-raja kecil yang berhadapan dengan modal, serta anggapan bahwa tanah komunal akan menghambat pembangunan. Namun negara harus hadir dengan regulasi yang jelas, karena semakin lama UU ini tertunda, konflik akan terus terjadi,” kata Nyoman.

Nyoman menegaskan bahwa pengesahan RUU bukan sekadar urusan administratif, melainkan menyangkut eksistensi masyarakat adat.

Menurutnya, frasa “mengakui dan menghormati” dalam UUD 1945 harus dimaknai secara luas, mencakup hak tradisional, hak asal-usul, susunan asli masyarakat adat, serta hak atas tanah, sumber daya alam, kehidupan sosial-budaya, ritual, hingga hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Mercy Barends dari Fraksi PDIP menekankan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan mandat konstitusi, sebagaimana termuat dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Hambatan terbesar, menurutnya, bukan semata teknis legislasi, melainkan tarik-menarik kepentingan antar-kementerian dan dominasi investasi yang sering mengorbankan ruang hidup masyarakat adat.

“Masyarakat adat adalah benteng terakhir hutan, gunung, pesisir, dan pulau-pulau kecil kita. Tanpa mereka, ruang hidup kita akan tercerabut,” tegas Mercy.

Mercy menambahkan, resistensi antar-kementerian menjadi faktor paling pelik yang membuat pembahasan RUU tersandera. Sektor sumber daya alam, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan, hingga agraria memiliki kepentingan masing-masing terkait pendapatan negara.

“Ada lima faktor yang menjadi penghambat RUU Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan. Faktor politik, ekonomi, hukum dan regulasi, sosial-budaya, dan teknis. Tarik-menarik fraksi di DPR hanya salah satunya,” jelas Mercy.

Akibat situasi tersebut, meski dukungan politik di Senayan semakin terbentuk, posisi fraksi pendukung seperti PDIP lebih banyak berperan sebagai penyeimbang, bukan kekuatan mayoritas untuk mendorong percepatan pengesahan. Setelah lebih dari 15 tahun, RUU Masyarakat Adat masih tertahan di meja legislasi.

Dari kalangan akademisi, Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan, Prof. Dr. Rr. Catharina Dewi Wulansari, menyampaika bahwa hak ulayat dan komunal tidak boleh dipandang sekadar urusan tanah.

“Ketika tanah diambil, pengetahuan lokal, kepercayaan, dan tradisi yang melekat juga ikut hilang. Karena itu, RUU Masyarakat Adat harus memberikan perlindungan menyeluruh agar masyarakat adat tidak semakin tersisih,” ungkapnya.

Lebih lanjut Catharina menjelaskan, banyak komunitas adat mengalami kesulitan finansial dalam membuktikan klaim hak, sehingga prosedur pengakuan perlu dibuat sederhana dan mudah diakses.

Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Anggi Putra Prayoga, menegaskan bahwa tanpa pengakuan dan perlindungan yang tegas, Indonesia berpotensi kehilangan hutan alam, keanekaragaman hayati, pengetahuan lokal, serta gagal memenuhi komitmen iklim global.

“Undang-Undang Masyarakat Adat adalah jawabannya,” tutup Anggi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *