Simpulindo.com, – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) diharapkan menjadi momentum penting untuk mengubah paradigma pengelolaan hutan di Indonesia. Pengelolaan hutan tidak lagi boleh didasarkan pada pendekatan kolonial yang menempatkan hutan sebagai komoditas negara semata. Sebaliknya, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga hutan yang sah perlu menjadi pilar utama dalam kebijakan kehutanan yang baru.
“UU Kehutanan harus berubah secara total karena sudah tidak relevan dengan tantangan kerusakan hutan yang mencapai rata-rata 689 ribu hektare per tahun, serta terhadap perlindungan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat dan lokal. Jika tidak, Indonesia terancam gagal mencapai target pengurangan emisi di sektor FoLU,” kata Anggi Putra Prayoga, juru kampanye Forest Watch Indonesia, Selasa (10/6/2025).
Anggi menyampaikan bahwa ada tiga pijakan utama yang perlu menjadi dasar dalam revisi RUUK. Pertama, perlunya perubahan paradigma dalam memaknai hak menguasai negara atas hutan. Ia menyoroti klaim Kementerian Kehutanan atas 106 juta hektare kawasan hutan sebagai bentuk penetapan sepihak yang hanya berlandaskan pada aspek legalitas.
“Pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan Kementerian Kehutanan cacat dalam proses penata batasan kawasan. Kawasan hutannya legal tetapi tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat adat dan lokal di tapak. Bahkan anomali penetapan kawasan hutan melonjak 20 kali lipat dalam setahun terakhir, yang biasa rata-rata per tahunnya hanya 500 ribu hektare,” ujar Anggi.
Pijakan kedua ialah penolakan terhadap bentuk-bentuk kamuflase pembangunan berkelanjutan yang justru menjadi alat perusakan hutan secara sistematis. Anggi mencontohkan program swasembada pangan dan energi yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Ketiga, Anggi menekankan pentingnya implementasi putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya Putusan MK Nomor 34, 35, 45, dan 95, yang menegaskan perlindungan hak-hak masyarakat adat dari praktik pengukuhan kawasan hutan yang semena-mena serta perizinan ekstraktif yang merusak lingkungan.
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Riyono, menyampaikan bahwa revisi UU Kehutanan harus dilakukan secara serius. Ia menekankan pentingnya keadilan bagi masyarakat adat, penegakan putusan MK, dan integrasi pengelolaan hutan dengan isu kedaulatan pangan.
Dalam forum yang sama, Raden dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan mengingatkan bahwa selama paradigma kolonial masih dijadikan dasar pengelolaan hutan, masyarakat adat akan terus menjadi korban.
“RUUK harus berpihak pada keadilan ekologis dan pengakuan utuh atas hak-hak Masyarakat Adat Meratus, yang tersingkir karena wilayah adat mereka dijadikan kawasan hutan,” ujarnya.
Kondisi serupa terjadi di Kalimantan Barat. A. Syukri dari Link-Ar Borneo menyampaikan bahwa hutan yang luas tidak menjamin kesejahteraan masyarakat karena pengelolaan masih tunduk pada logika kolonial dan kapitalistik.
“Hutan Tanaman Industri di dalam konsesi kehutanan adalah kebun monokultur yang bukan hutan. RUU Kehutanan bukan hanya soal regulasi, tapi soal keadilan dan masa depan,” tegasnya.
Sementara itu, Darwis dari Green of Borneo Kaltara menegaskan bahwa RUUK harus menjadi benteng terhadap ekspansi korporasi, bukan jalan tol bagi proyek pangan dan energi yang mengorbankan hutan dan masyarakat adat.
“Tanpa perlindungan sosial, penerapan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), dan pelaksanaan Putusan MK 35 di tingkat tapak, revisi ini hanya akan memperluas konflik, kriminalisasi, dan kerusakan ekologis di Kaltara atas nama pembangunan,” ujar Darwis.
Kekhawatiran terhadap isi revisi juga datang dari WALHI Aceh. Afifuddin mengingatkan bahwa RUUK yang tidak berpihak pada rakyat dan ekosistem hanya akan melahirkan legalisasi krisis lingkungan di Aceh. Sulfianto dari Panah Papua menambahkan bahwa pendekatan eksploitatif dalam RUUK harus dihentikan. Tanpa transparansi dan persetujuan masyarakat adat, kebijakan ini berpotensi melanggengkan penjajahan dalam bentuk food estate.
Kondisi serupa juga terjadi di Jambi. Oscar Anugrah dari WALHI Jambi menyoroti bahwa proyek transisi energi dalam konsesi kehutanan telah menjadi kedok baru perampasan hutan.
“RUUK harus dikawal ketat agar narasi hijau tidak terus dipakai untuk mengabaikan hak ulayat dan merampas ruang hidup masyarakat,” katanya.
Penguasaan sepihak atas hutan juga masih berlangsung di Gorontalo. Di Kabupaten Pohuwato, proyek monokultur dan bioenergi terus meminggirkan masyarakat lokal. Defri Setiawan dari Walhi Gorontalo menegaskan bahwa RUUK semestinya menjadi alat koreksi terhadap ketimpangan tersebut.
“RUUK harus menjadi alat koreksi terhadap warisan ketimpangan ini, bukan justru melanggengkannya demi kepentingan korporasi dan kepentingan transisi energi negara importir atas sumber daya hutan di Gorontalo,” ujarnya.
Di Maluku, Zul dari KORA Maluku menyoroti kebijakan kehutanan yang selama ini mengabaikan konteks ekologi pulau-pulau kecil dan bias terhadap wilayah daratan besar. Di Pulau Buru, proyek biomassa telah menggusur ruang hidup masyarakat adat.
“Sudah saatnya masyarakat adat tidak sekadar diajak berpartisipasi, tapi diakui haknya sebagai pemilik sah hutan yang mereka rawat turun-temurun,” tegasnya.
Senada dengan itu, Faizal Ratuela dari WALHI Maluku Utara menyoroti kebijakan nasional yang kerap menjadikan pulau-pulau tak berpenghuni sebagai ruang ekspansi proyek strategis nasional. Pendekatan tersebut mengabaikan relasi masyarakat dengan tanah serta daya dukung ekologis pulau yang rentan terhadap krisis iklim dan bencana alam.
Ketua LPPM Universitas Mataram, Dr. Andi Chairil Ichsan, menyatakan bahwa RUUK bukan sekadar produk hukum administratif, melainkan cerminan dari upaya kolektif memahami ulang makna hutan. Menurutnya, kekuasaan atas hutan harus dibagi secara adil dan transparan demi masa depan sosial-ekologis yang berkeadilan.
Sementara itu, Dessy Eko Prayitno, S.H., M.H., dari Universitas Indonesia, menggarisbawahi pentingnya menjadikan pengakuan hak masyarakat dan tata kelola hutan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel sebagai roh dari UU Kehutanan yang baru. Hal itu harus berlaku dalam seluruh tahapan pengukuhan, perizinan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Dengan suara yang menguat dari berbagai wilayah dan latar belakang, RUUK dinilai harus menjadi tonggak reformasi kebijakan kehutanan nasional yang menempatkan masyarakat dan ekologi sebagai inti, bukan sekadar pelengkap dalam narasi pembangunan.