Buruh, Layar, dan Kolonisasi: Ketika Jempol Jadi Komoditas

Simpulindo.com, – Di zaman sekarang, jempol kita bekerja lebih keras daripada yang kita sadari. Ia bukan lagi sekadar alat untuk mengetik atau menggulir layar ponsel, tetapi sudah menjadi bagian dari mesin ekonomi digital yang besar dan tak terlihat. Tanpa sadar, kita sedang bekerja untuk perusahaan media sosial tapi tanpa kontrak, tanpa jam kerja, dan tanpa gaji.

Sekilas, aktivitas kita di media sosial tampak menyenangkan. Kita tertawa melihat video lucu, mengunggah foto liburan, atau berbagi cerita di status. Tapi di balik kesenangan itu, ada sistem yang mengubah semua gerak-gerik kita menjadi keuntungan bagi segelintir korporasi global. Kita bukan lagi sekadar pengguna, tapi juga buruh. Buruh yang menyumbangkan waktu, perhatian, dan data. Hal ini terjadi tanpa kita sadari bahwa kita sedang dieksploitasi.

Christian Fuchs menjelaskan dalam karyanya Kekuasaan dan Politik bahwa perusahaan seperti Facebook, YouTube, Google, dan X (dulu Twitter) bukan hanya tempat berinteraksi, tetapi adalah pabrik digital. Pabrik tanpa dinding dan tanpa jam istirahat, tempat miliaran orang menjadi “buruh sukarela” setiap harinya.

Kapitalisme digital ini bekerja halus, penuh senyum, dan tak terasa. Jika kolonialisme masa lalu menjarah tanah dan tenaga, maka kolonialisme hari ini menambang perhatian dan data. Kita dipandu oleh algoritma yang menentukan apa yang kita lihat, sukai, bahkan pikirkan. Dan setiap klik, setiap guliran layar, semuanya dihitung dan dimonetisasi.

Setiap komentar, foto selfie, atau video yang kita unggah bukan hanya bentuk ekspresi diri. Itu semua adalah bahan mentah yang diolah oleh sistem digital menjadi komoditas data, lalu dijual ke pengiklan. Dari aktivitas yang kita anggap ringan dan sepele, perusahaan digital mendapat keuntungan besar. Tapi kita tidak mendapat bagian dari keuntungan itu.

Serorang pemikir dari Brooklyn, Alvin Toffler, puluhan tahun lalu, memperkenalkan konsep “prosumer”. Prosumer adalah gabungan antara produsen dan konsumen. Dulu Alvin percaya bahwa menjadi prosumer adalah bentuk emansipasi, kebebasan. Tapi sekarang, dalam praktiknya, prosumer adalah pion dalam permainan yang besar. Kita memproduksi konten tanpa dibayar dan merasa senang karena mengira sedang bermain atau bersosialisasi.

Inilah bentuk eksploitasi baru yang paling halus dalam sejarah kapitalisme. Tidak ada penjajah dengan senjata. Tidak ada paksaan. Yang ada hanya notifikasi, scroll, dan ledakan hormon bahagia setiap kali unggahan kita mendapat ‘like’.

Barangkali terasa berlebihan membandingkan jempol dengan cangkul atau palu. Tapi kenyataannya, jempol kini adalah alat kerja dalam sistem ekonomi digital. Seperti petani menanam padi dengan cangkul, kita menggulirkan jempol untuk memberi makan algoritma. Kita bekerja, meski tak pernah merasa sedang bekerja.

Jauh sebelum era internet, Dallas Smythe sudah mengingatkan bahwa perhatian manusia adalah komoditas. Hari ini, model itu tumbuh pesat. Bukan hanya perhatian, tapi juga identitas, selera, bahkan emosi kita diubah menjadi barang dagangan. Kita dipetakan, diklasifikasikan, dan ditawarkan ke pengiklan berdasarkan profil digital kita.

Christian Fuchs menyebut ini sebagai komodifikasi ganda. Kita adalah komoditas, dan sekaligus produsen komoditas. Kita dijual, dan menjual diri sendiri, dalam waktu yang sama. Data yang kita hasilkan bukan milik kita. Bahkan, keinginan kita pun mulai dibentuk oleh sistem pasar yang membungkus dirinya dalam bentuk saran dan rekomendasi.

Kapitalisme digital menghapus batas antara kerja dan hiburan. Kita tidak tahu kapan sedang bekerja, karena semuanya terasa seperti bersenang-senang. Di pabrik, buruh tahu bahwa mereka bekerja. Di media sosial, kita tidak sadar bahwa kita sedang bekerja.

Ruang digital hari ini juga tidak lagi menjadi ruang publik yang bebas. Ia lebih menyerupai pusat perbelanjaan: ramai, penuh warna, dan semua diarahkan untuk konsumsi. Kita seperti berjalan di lorong-lorong mall, tapi secara digital.

Yang lebih menyedihkan, sistem ini tidak hanya eksis di dunia maya tapi berdiri di atas penderitaan nyata. Di satu sisi, kita di kota-kota besar menyumbang waktu dan perhatian secara cuma-cuma. Di sisi lain, buruh di pabrik-pabrik Asia atau tambang di Afrika bekerja dalam kondisi berat untuk memproduksi perangkat yang kita gunakan.

Fuchs menyebutnya hubungan antara “tenaga kerja bebas” dan “buruh budak.” Yang satu bekerja dengan senyum, yang lain bekerja dengan peluh dan darah. Tapi keduanya adalah bagian dari rantai produksi global yang sama. Jempol kita di Gorontalo terhubung langsung dengan tambang logam di Kongo. Dunia ini terikat oleh jejaring nilai yang memutar keuntungan ke atas, dan membiarkan kesadaran tertinggal di bawah.

Karl Marx, menyebut inti dari kapitalisme adalah akumulasi nilai lebih. Yang berubah hari ini adalah bentuknya. Kini, pengguna bekerja sepanjang waktu, tanpa kantor, tanpa bos, dan tanpa upah. Bahkan, kita membeli sendiri alat produksi: ponsel, kuota, dan listrik.

Proses akumulasi ini sangat efisien. Tak perlu pabrik, tak perlu pekerja tetap. Data adalah minyak baru, dan kita adalah sumurnya. Setiap hari kita dipantau dan disortir oleh algoritma yang tahu lebih banyak dari yang kita pikirkan. Oscar Gandy menyebut ini sebagai penyortiran panoptik, sistem pengawasan canggih yang mengatur siapa mendapat apa.

Lalu, bagaimana membebaskan buruh yang tidak sadar dirinya buruh? Bagaimana melawan ketika alat kerja ada di genggaman kita sendiri, dan kita memakainya setiap saat dengan suka hati?

Fuchs menyarankan membangun internet alternatif, ruang digital yang tidak dikuasai oleh korporasi, melainkan dimiliki bersama oleh komunitas. Ini bukan mimpi kosong. Sudah ada gerakan perangkat lunak bebas, jaringan sosial alternatif, dan komunitas digital yang tumbuh perlahan-lahan di berbagai tempat.

Tapi teknologi bukan satu-satunya jawaban. Yang lebih penting adalah kesadaran. Sebab kekuasaan paling kuat adalah yang tidak tampak. Di sinilah peran pendidikan, media, dan literasi digital menjadi penting untuk membongkar ilusi, membangun kesadaran kelas, dan memperjuangkan keadilan digital.

Mungkin banyak orang akan menolak disebut buruh ketika mereka mengunggah video lucu atau berswafoto dengan filter kekinian. Tapi itulah kenyataannya. Kita adalah buruh layar. Dan layar itu telah menjadi ladang kapitalisme paling luas dan liar, nyaris tanpa aturan.

Kini, saatnya mengubah jempol dari alat produksi pasif menjadi simbol perlawanan aktif. Dari klik setuju menjadi klik sadar. Dari konsumen pasif menjadi produsen wacana yang membebaskan.

Kapitalisme terus berubah bentuk, dan kita juga perlu terus mengubah cara kita melawan. Siapa tahu, dari balik swipe yang tampak sepele, akan lahir kesadaran baru. Sebab sejarah selalu bergerak, kadang justru dari hal-hal yang terlihat paling remeh.

Referensi:

Fuchs, C. (2021). Kekuasaan dan Politik dalam Komunikasi Digital (A. Z. Wahyudi, Penerj.). Yogyakarta: Insist Press. (Karya asli diterbitkan 2015).

Marx, K. (2004). Modal: Sebuah Kritik terhadap Ekonomi Politik (Vol. I) (H. J. Susilo, Penerj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Karya asli diterbitkan 1867).

Scholz, T. (2021). Kerja Digital: Internet sebagai Pabrik dan Taman Bermain (R. A. Rachman, Penerj.). Bandung: Marjin Kiri.

Toffler, A. (1991). Gelombang Ketiga (A. Widyamartaya, Penerj.). Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

Zuboff, S. (2020). Era Kapitalisme Pengawasan (T. Hidayat, Penerj.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *