Simpulindo.com, – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti meminta publik untuk membaca laporan Bank Dunia mengenai kemiskinan di Indonesia dengan kacamata yang jernih.
Laporan bertajuk Macro Poverty Outlook edisi April 2025 itu menyebutkan bahwa 60,3 persen populasi Indonesia tergolong miskin jika memakai garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas.
Merujuk pada populasi Indonesia tahun 2024 yang mencapai 285,1 juta jiwa, angka tersebut berarti sekitar 171,91 juta penduduk masuk kategori miskin. Dasar penghitungan Bank Dunia adalah pengeluaran minimum sebesar US$ 6,85 per kapita per hari, atau setara Rp 115.080, bila dikonversi dengan kurs Rp 16.800 per dolar Amerika.
Amalia menegaskan bahwa angka tersebut bukan acuan wajib bagi Indonesia.
“Itu hanya referensi. Kita perlu memahami konteksnya, karena garis kemiskinan tersebut ditentukan berdasarkan standar daya beli masyarakat negara-negara berpendapatan menengah atas,” ujar Amalia, Kamis (1/5/2025).
Menurut Amalia, BPS menggunakan metodologi yang berbeda dalam menentukan batas kemiskinan. Di Indonesia, garis kemiskinan ditetapkan berdasarkan kebutuhan dasar, dengan ambang batas Rp 595.242 per bulan. Standar ini mempertimbangkan harga dan kebutuhan pokok di setiap daerah, bukan semata nilai tukar dolar.
“Standar Bank Dunia memakai pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), yang nilainya bervariasi di tiap negara dan tahun. Dalam konteks Indonesia, PPP yang digunakan Bank Dunia merujuk pada angka tahun 2017 sebesar Rp 4.756, bukan kurs rupiah saat ini. Karena itu, angka tersebut tidak bisa dikonversi langsung,” jelas Amalia.
Laporan Bank Dunia memang tidak hanya menggunakan satu batas kemiskinan. Ada tiga kategori garis kemiskinan internasional yang disebutkan: US$ 2,15 untuk batas kemiskinan ekstrem, US$ 3,65 untuk negara berpendapatan menengah bawah, dan US$ 6,85 untuk negara berpendapatan menengah atas. Angka 60,3 persen kemiskinan di Indonesia berasal dari kategori yang terakhir.
Menurut Amalia, pendekatan seperti itu sebaiknya tidak dipakai secara seragam di seluruh negara. “Garis kemiskinan global tidak bisa langsung diterapkan karena tiap negara punya karakteristik dan standar hidup berbeda,” ujarnya.
Lebih lanjut, BPS juga menghitung kemiskinan berdasarkan kebutuhan hidup minimum di tiap provinsi, bukan dengan pendekatan rata-rata nasional. “Kondisi hidup di DKI Jakarta tentu tidak sama dengan di Papua Selatan. Karena itu, garis kemiskinan di tiap provinsi pun berbeda,” kata Amalia.
Dengan pendekatan desentralistik tersebut, BPS mengklaim mampu menggambarkan kondisi riil masyarakat di berbagai wilayah. Penetapan garis kemiskinan yang spesifik daerah dianggap lebih adil dan sesuai dengan konteks sosial-ekonomi lokal.
Laporan Bank Dunia ini memicu perdebatan di ruang publik. Namun Amalia menegaskan pentingnya memahami metodologi di balik data.
“Angka-angka tersebut punya fungsi analitis, bukan sebagai alat penghakiman. Kita harus membaca data secara proporsional, bukan emosional,” tuturnya.