Simpulindo.com, – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus memperkuat pengawasan terhadap peredaran produk kosmetik menyusul tren peningkatan pelanggaran dalam beberapa waktu terakhir.
Pada triwulan I 2025, BPOM menemukan 16 item kosmetik yang terbukti mengandung bahan berbahaya dan/atau dilarang.
Kepala BPOM, Taruna Ikrar, mengungkapkan bahwa dari hasil pengawasan rutin periode Januari hingga Maret 2025, sebagian besar produk tersebut merupakan kosmetik hasil kontrak produksi, sementara sisanya merupakan produk impor.
“Dari 16 item yang ditemukan, 10 merupakan hasil produksi berdasarkan kontrak, dan 6 lainnya merupakan produk impor,” ujar Taruna, Rabu (23/4/2025).
Melalui kegiatan sampling dan uji laboratorium, BPOM mendapati bahan berbahaya seperti merkuri, asam retinoat, hidrokuinon, timbal, serta pewarna merah K10 di dalam produk-produk tersebut. Bahan-bahan tersebut telah dinyatakan dilarang dalam formulasi kosmetik karena berisiko tinggi terhadap kesehatan konsumen.
Taruna menjelaskan bahwa dampak kesehatan dari bahan-bahan berbahaya tersebut sangat beragam, mulai dari efek ringan seperti iritasi hingga risiko serius seperti kerusakan organ, bahkan kanker.
“Merkuri, misalnya, dapat menyebabkan perubahan warna kulit, reaksi alergi, hingga kerusakan ginjal. Asam retinoat bersifat teratogenik, membahayakan janin. Hidrokuinon dapat memicu hiperpigmentasi dan perubahan warna kornea. Sementara timbal merusak fungsi sistem tubuh, dan merah K10 bersifat karsinogenik,” paparnya.
Menindaklanjuti temuan tersebut, BPOM telah melakukan penertiban ke berbagai fasilitas produksi dan distribusi, termasuk pengecekan di tingkat retail, melalui 76 Unit pelaksana teknis (UPT) di seluruh Indonesia.
“Kami telah mencabut izin edar serta memberlakukan penghentian sementara kegiatan produksi, distribusi, dan impor terhadap produk-produk yang terbukti mengandung bahan berbahaya dan/atau dilarang,” ujar Taruna.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pelaku usaha yang terbukti melanggar dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana. Ancaman hukuman diatur dalam Pasal 435 jo. Pasal 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dengan pidana penjara maksimal 12 tahun atau denda hingga Rp5 miliar.
BPOM juga akan menindaklanjuti setiap indikasi pelanggaran pidana dengan proses penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) BPOM untuk selanjutnya dibawa ke ranah pro justitia.
“BPOM berkomitmen untuk terus menelusuri aktivitas produksi dan peredaran kosmetik ilegal, terutama yang diproduksi oleh pihak yang tidak memiliki izin resmi,” tegas Taruna.
BPOM mengimbau seluruh pelaku usaha untuk mematuhi regulasi yang berlaku dan tidak mengedarkan produk yang membahayakan kesehatan.