Simpulindo.com, – Polemik mengenai izin dan royalti dalam industri musik kembali mencuat. Kali ini, sekelompok musisi Indonesia mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka menilai bahwa beberapa ketentuan dalam regulasi tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi penyanyi dan pelaku industri musik.
Gugatan ini muncul akibat sejumlah kasus dalam beberapa tahun terakhir yang menyoroti mekanisme perizinan dan pembayaran royalti. Para musisi menginginkan adanya kejelasan hukum agar praktik di industri musik lebih adil dan tidak memberatkan pihak tertentu.
Gugatan dari Berbagai Musisi
Musisi dari berbagai genre turut serta dalam pengajuan uji materi ini. Mereka mengajukan permohonan dengan nomor perkara 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025 yang didaftarkan pada 12 Maret 2025. Dalam gugatannya, mereka meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir lebih adil terhadap beberapa pasal dalam UU Hak Cipta, di antaranya:
Pasal 9 Ayat 3: Meminta agar penggunaan ciptaan dalam pertunjukan komersial tidak memerlukan izin dari pencipta, selama tetap membayar royalti.
Pasal 23 Ayat 5: Meminta agar frasa “setiap orang” dimaknai sebagai penyelenggara acara pertunjukan, kecuali ada perjanjian berbeda mengenai pembayaran royalti.
Pasal 81: Memohon agar penyanyi tidak perlu memperoleh lisensi langsung dari pencipta lagu untuk membawakan karyanya dalam pertunjukan komersial, asalkan royalti tetap dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Pasal 87 Ayat 1: Mengusulkan agar mekanisme pemungutan royalti bisa dilakukan secara lebih fleksibel dan tidak diskriminatif.
Pasal 113 Ayat 2 Huruf f: Meminta pasal ini dinyatakan tidak sesuai dengan konstitusi karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Ketidakjelasan Mekanisme Perizinan
Para musisi yang mengajukan gugatan menyoroti berbagai persoalan dalam penerapan UU Hak Cipta saat ini. Salah satu perhatian utama mereka adalah ketidakjelasan mengenai apakah izin harus diminta langsung kepada pencipta lagu atau cukup melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Mereka juga menyoroti kecenderungan subjektivitas dalam pemberian izin yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan di industri musik.
Selain itu, para musisi menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap beban administratif dan finansial yang berlebihan bagi penyanyi terkait kewajiban perizinan dan pembayaran royalti. Mereka mempertanyakan apakah beban ini seharusnya ditanggung oleh penyanyi atau penyelenggara acara.
Dengan adanya gugatan ini, para musisi berharap Mahkamah Konstitusi dapat memberikan keputusan yang lebih jelas dan adil bagi seluruh pihak dalam industri musik, sehingga tidak ada lagi kebingungan terkait izin dan pembayaran royalti di masa mendatang.