Usulan Pencopotan Gibran: Antara Aspirasi Purnawirawan dan Keteguhan Konstitusi

Simpulindo.com, – Gelombang kritik terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka datang dari arah yang tak terduga. Forum Purnawirawan TNI-Polri, yang selama ini dikenal tenang dan berhitung dalam menyampaikan suara, secara terbuka mengajukan usulan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mencopot Gibran dari jabatannya.

Pernyataan yang dirilis forum tersebut bukan sebatas lontaran aspirasi emosional, melainkan didukung nama-nama besar dalam sejarah militer Indonesia, termasuk Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi dan Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno.

Jumlah tokoh yang tergabung dalam forum ini pun tak bisa dianggap remeh. Tercatat 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel ikut menandatangani usulan tersebut. Di balik angka-angka ini tersimpan simbol kekuatan moral militer yang pernah mengendalikan roda negara dalam periode penting sejarah republik.

Ketua MPR Ahmad Muzani merespons usulan tersebut dengan sikap hati-hati. Dalam pernyataan yang disampaikan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (25/4/2025). 25 April 2025, Muzani mengaku baru mendengar kabar tentang permintaan pencopotan Gibran.

“Saya belum membaca, belum mempelajari. Hanya mendengar secara sekilas,” ujar Muzani. Pernyataan tersebut mencerminkan pendekatan yang mengedepankan ketelitian dalam menghadapi isu sensitif di tengah tensi politik yang tinggi.

Muzani menegaskan bahwa proses politik yang melahirkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam Pemilu 2024, rakyat memberikan mandat kepada pasangan ini melalui proses pemilihan langsung. Nama-nama lain yang turut bersaing, Ganjar Pranowo bersama Mahfud MD, dan Anies Baswedan bersama Muhaimin Iskandar menjadi bagian dari proses demokrasi yang berjalan terbuka.

Komisi Pemilihan Umum juga menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang, dan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan tidak ada pelanggaran yang membatalkan hasil tersebut.

Sebagai lembaga legislatif tertinggi, MPR kemudian menjalankan tugas konstitusional melalui pelantikan pasangan terpilih. Muzani menyatakan bahwa pelantikan tersebut menjadi bukti legalitas dan keabsahan keduanya dalam struktur pemerintahan.

“Prabowo adalah presiden sah, Gibran adalah wakil presiden sah,” tegasnya. Penegasan tersebut menjadi semacam garis batas bahwa setiap permintaan politik harus tetap tunduk pada koridor hukum dan mekanisme formal.

Di tengah riuh kritik, Istana juga tidak tinggal diam. Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, menjelaskan sikap Presiden Prabowo Subianto terhadap usulan tersebut. Dalam konferensi pers yang digelar di Istana Kepresidenan, Kamis (24/4/2025).

Wiranto menyampaikan bahwa Presiden menghormati setiap aspirasi, termasuk dari Forum Purnawirawan TNI-Polri. Namun, dalam negara yang menganut sistem trias politika, ruang gerak kepala negara pun tidak tanpa batas.

“Presiden perlu mempelajari isi usulan tersebut satu per satu. Masalah ini tidak ringan. Sangat fundamental,” ucap Wiranto.

Wiranto menambahkan bahwa kewenangan presiden berada dalam bingkai sistem demokrasi yang memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Artinya, tidak ada satu cabang kekuasaan pun yang dapat bertindak sepihak dalam urusan yang menyangkut stabilitas konstitusional. Proses pengambilan keputusan di pemerintahan pun, menurut Wiranto, harus dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan berbagai aspek.

“Presiden tidak mengambil keputusan berdasarkan satu sumber informasi. Banyak bidang lain yang perlu diperhitungkan,” ujarnya.

Maka, usulan pencopotan Gibran tidak hanya menyangkut satu jabatan. Wacana ini membuka kembali perdebatan lama tentang batas kewenangan presiden, legitimasi pemilu, dan kekuatan moral kelompok yang pernah memegang komando kekuasaan. Forum Purnawirawan mungkin tidak lagi memiliki otoritas struktural, tetapi suara yang datang dari kelompok tersebut masih menyimpan pengaruh di ruang publik dan politik nasional.

Perlu dicermati bahwa selama sejarah republik, belum pernah ada wakil presiden yang dicopot karena tekanan kelompok tertentu, apalagi dari unsur non-pemerintah. Satu-satunya transisi yang pernah mendekati situasi serupa adalah mundurnya B.J. Habibie dari pencalonan kembali setelah masa transisi 1999, itu pun dalam konteks demokrasi yang sedang merangkak keluar dari cengkeraman Orde Baru. Maka jika tekanan terhadap Gibran terus menguat, Indonesia bisa saja memasuki wilayah baru yang belum terpetakan: sebuah ujian besar terhadap ketahanan institusi demokrasi dan mekanisme checks and balances.

Penting bagi publik dan elite politik untuk menjaga agar diskursus ini tidak tergelincir menjadi benturan personal atau friksi elite yang mengabaikan suara rakyat. Jabatan wakil presiden bukan sekadar kursi politik, melainkan amanah hasil pemilu yang sah. Menyentuhnya tanpa landasan hukum yang kuat hanya akan membuka ruang preseden berbahaya di masa depan.

Sikap Ketua MPR, yang memilih menunggu dan mempelajari terlebih dahulu, mencerminkan kedewasaan politik yang patut diapresiasi. Dalam menghadapi tekanan politik yang berkembang dari berbagai arah, respons yang mengedepankan ketenangan dan kehati-hatian menjadi krusial. Seperti halnya langkah Presiden Prabowo yang memilih mendengarkan semua suara sebelum memutuskan arah kebijakan.

Demokrasi tidak menutup pintu terhadap kritik. Justru sistem ini tumbuh dari ruang perbedaan dan ketegangan. Namun demokrasi juga menuntut konsistensi terhadap hukum dan konstitusi. Keseimbangan antara dua hal inilah yang menjadi taruhan besar dalam episode politik kali ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *