Simpulindo.com, – Pemerintah resmi mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada Selasa (10/6/2025). Keputusan ini diumumkan langsung oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia sebagai respons terhadap desakan kuat masyarakat.
Empat perusahaan yang izinnya dicabut meliputi PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Sementara itu, PT GAG masih diizinkan beroperasi, memicu kekhawatiran publik akan keberlanjutan kerusakan ekosistem di wilayah tersebut.
Kendati demikian, langkah pemerintah ini dinilai belum cukup untuk memberikan perlindungan menyeluruh bagi pulau-pulau kecil lainnya. Trend Asia menilai, reaksi cepat pemerintah lebih didorong oleh sorotan publik setelah isu penambangan nikel di Raja Ampat ramai diperbincangkan.
“Bukan hanya Raja Ampat yang di ambang kehancuran. Banyak wilayah pesisir dan pulau kecil juga rusak akibat masifnya hilirisasi di era pemerintahan Jokowi dan Prabowo,” ujar Arko Tarigan, Juru Kampanye Mineral Kritis Trend Asia, Jumat (11/7/2025).
Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan, saat ini terdapat 35 pulau kecil yang dieksploitasi dengan total 195 izin tambang. Kondisi ini terjadi meskipun Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU W3PK) jelas mengamanatkan perlindungan bagi pulau kecil.
Pulau kecil, menurut UU tersebut, memiliki daya tampung lebih kecil, daya pulih rendah, serta rentan terhadap perubahan ekologis. Namun, celah hukum acap kali dimanfaatkan untuk mengizinkan aktivitas tambang tetap berjalan.
“Banyak pulau kecil dilumat akibat penegakan hukum yang lemah. Apakah semua izin tambang harus viral dulu agar dicabut? Ketegasan pemerintah jangan hanya bersifat kosmetik. Apalagi izin PT GAG masih dibiarkan berjalan di pulau kecil yang perlindungannya dijamin oleh hukum Indonesia,” kata Arko.
Arko menegaskan, penambangan seharusnya sama sekali tidak dilakukan di pulau kecil, terlebih dengan dalih investasi yang justru menyengsarakan masyarakat setempat.
“Presiden Prabowo mesti hadir memberikan kepastian atas keberlangsungan semua ekosistem di pulau-pulau kecil,” tegasnya.
Ancaman Berulang dan Potensi “Akrobat Hukum”
Kekhawatiran lain muncul terkait konsistensi pemerintah dalam memastikan keberlangsungan pencabutan izin ini. Pengalaman serupa di sejumlah wilayah menunjukkan, izin yang sempat dicabut kerap kali muncul kembali atau tambang tetap beroperasi secara ilegal. Kasus di Pulau Wawonii menjadi salah satu contoh yang memicu kecemasan publik akan potensi berulangnya praktik serupa.
Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, lemahnya tata kelola menjadi akar persoalan yang memperparah kerentanan pulau kecil. Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye FWI, menilai pulau kecil sering kali diatur dengan kebijakan yang dirancang untuk pulau besar.
“Ekosistem, kapasitas, dan kerentanan pulau kecil berbeda, tetapi pengelolaannya justru mengabaikan argumentasi ilmiah. Ditambah lagi, regulasi perlindungan pulau kecil sering dikesampingkan oleh regulasi sektoral, seperti pertambangan dan perkebunan,” ujar Anggi.
Lebih lanjut, tumpang tindih izin akibat fragmentasi kewenangan menimbulkan praktik state capture corruption.
“Ini memperbesar ruang bagi praktik ilegal dan melemahkan posisi hukum masyarakat maupun lingkungan hidup,” tambah Anggi.
Kabar Baik dari Wawonii
Di tengah berbagai kekhawatiran, secercah harapan datang dari Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, pada 17 Juni 2025.
Direktur Jenderal Perencanaan Kehutanan Kementerian LHK Ade Tri Ajikusumah menyampaikan, pencabutan ini merupakan tindak lanjut evaluasi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekaligus implementasi putusan Mahkamah Agung tertanggal 7 Oktober 2024 yang membatalkan IPPKH PT GKP.
Keputusan ini menjadi kemenangan besar bagi masyarakat Wawonii dan pegiat lingkungan yang sejak lama menolak aktivitas tambang nikel karena mengancam mata pencaharian dan keberlanjutan lingkungan.
“Pencabutan izin PT GKP harus menjadi preseden. Semua izin pertambangan wajib dievaluasi, tidak hanya di destinasi wisata seperti Raja Ampat, tapi juga di ribuan pulau rentan, wilayah pesisir, dan ruang hidup masyarakat adat,” tegas Arko Tarigan.
Menurut Trend Asia, dalam upaya transisi energi, pemerintah tidak boleh mengorbankan suara dan hak masyarakat rentan. Presiden Prabowo diharapkan tidak hanya mengumbar retorika nasionalis, tetapi juga menunjukkan komitmen nyata melindungi pulau-pulau kecil Indonesia.












