Simpulindo.com, – Ditengah gelora Pemungutan Suara Ulang (PSU) kabupaten Gorontalo Utara yang seharusnya menjadi momen penting untuk memperbaiki kualitas demokrasi, muncul sebuah pernyataan yang bukan hanya merendahkan martabat rakyat, tetapi juga mengancam prinsip dasar demokrasi itu sendiri.
Sebuah komentar yang muncul di media sosial berbunyi:
“Kalo Masi Orang Tua Jaga Ongkos Mo makan Jangan Jaga B TS.”
Ini bukan sekadar ucapan yang tidak sensitif ini adalah penghinaan. Penghinaan terhadap semangat anak muda yang meskipun belum sepenuhnya mapan secara ekonomi, tetap terlibat dalam perjuangan demokrasi dengan penuh idealisme dan harapan.
Apakah demokrasi hanya untuk mereka yang kaya?
Apakah suara rakyat harus dihargai hanya jika mereka sudah memiliki uang? Jika benar, maka demokrasi ini sudah mati. Jika demokrasi hanya bisa dimiliki oleh orang kaya, maka kita sedang bergerak ke arah yang salah.
Pernyataan ini bukan hanya menunjukkan ketidakpedulian. Ini adalah cerminan dari betapa sempitnya pemikiran seorang wakil rakyat yang seharusnya menjaga martabat seluruh rakyat, bukan hanya mereka yang mampu. Demokrasi bukan sekadar milik segelintir orang yang merasa lebih dari cukup. Demokrasi adalah ruang untuk semua.
Kami, rakyat, bukan hanya pemilih. Kami adalah bagian dari sistem yang seharusnya dihargai. Kami tidak akan pernah menerima penghinaan terhadap semangat kami, yang meskipun sederhana, tetap berusaha keras untuk berperan aktif dalam pembangunan demokrasi.
Menurut Dr. H. Budi Santosa, seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia, “Demokrasi yang sehat harus bisa mengakomodasi partisipasi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang status ekonomi. Jika ada ruang yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah kaya, maka kita sedang menuju kepada sistem yang hanya melayani elit.” Pernyataan ini menjadi landasan bahwa komentar yang merendahkan partisipasi rakyat berdasarkan status ekonomi tidak hanya keliru, tapi juga merusak semangat demokrasi itu sendiri.
Pernyataan tersebut juga memicu krisis kepercayaan terhadap proses politik dan peran wakil rakyat. Jika demokrasi dilihat sebagai sebuah perayaan uang, maka publik akan kehilangan minat untuk berpartisipasi. Mereka yang tidak memiliki cukup uang akan merasa tersingkirkan, sedangkan mereka yang lebih mampu akan merasa lebih berhak atas segalanya. Ketika ini terjadi, kita tidak lagi berbicara soal demokrasi, melainkan soal oligarki yang melayani segelintir orang kaya.
Seperti yang dikatakan oleh Soekarno, “Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memberikan kesempatan bagi semua rakyat untuk berbicara dan berpartisipasi tanpa diskriminasi.” Pernyataan ini menggambarkan betapa pentingnya prinsip dasar bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang ekonomi, berhak untuk terlibat dalam menentukan arah negara.
Kami, rakyat, ingin agar demokrasi tetap menjadi ruang yang adil. Kami ingin agar siapa pun yang ingin berpartisipasi, tidak hanya berdasarkan uang, tetapi juga karena semangat untuk berbuat lebih baik bagi bangsa ini.
Kami mendesak agar yang bersangkutan segera meminta maaf secara terbuka kepada seluruh masyarakat Gorontalo Utara. Permintaan maaf ini bukan hanya soal kesalahan pribadi, tetapi soal menjaga kehormatan demokrasi. Jika seseorang yang terpilih untuk mewakili suara rakyat tidak bisa menghargai rakyatnya, maka sesungguhnya ia sudah mengkhianati tugas dan amanah yang diberikan.
Demokrasi adalah hak setiap individu. Demokrasi bukan hanya tentang pemilihan suara, tetapi tentang memberi ruang bagi semua orang untuk terlibat, untuk berbicara, dan untuk menjadi bagian dari perubahan. Ketika mereka yang lebih berkuasa merendahkan kami, mereka merusak pondasi demokrasi itu sendiri.
Rakyat adalah Penggerak Demokrasi, Bukan Penonton Kita tidak bisa hanya duduk dan menonton. Kita harus terlibat. Rakyat adalah pendorong utama dalam perjalanan demokrasi, dan pernyataan yang menghina hanya akan menambah keraguan akan sistem yang seharusnya kita percayai. Demokrasi hanya akan hidup jika semua lapisan masyarakat merasa memiliki ruang untuk berpartisipasi, untuk didengarkan, dan untuk dihargai.
Penulis: Moh. Rifki Lamatenggo (Mahasiswa Sumalata Timur)