Simpulindo.com, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menyoroti kesenjangan antara capaian pertumbuhan ekonomi nasional dengan kondisi riil ketenagakerjaan yang dirasakan masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang mencapai 5,12 persen dinilai tidak selaras dengan situasi di lapangan, di tengah meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, stagnasi upah, dan minimnya penciptaan lapangan kerja layak.
“Data tumbuh, tapi pekerja tumbang. Ini yang terjadi di lapangan. Kami menerima laporan PHK di sektor manufaktur, logistik, hingga digital. Pertanyaannya sederhana pertumbuhan ini tumbuh untuk siapa,” Kata Nurhadi, Sabtu (9/8/2025).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perekonomian Indonesia pada kuartal II 2025 tumbuh 5,12 persen secara tahunan (year on year/yoy). Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku tercatat Rp5.947 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan sebesar Rp3.396,3 triliun. Capaian tersebut lebih tinggi dibanding kuartal I 2025 yang tumbuh 4,87 persen, maupun kuartal II 2024 yang tumbuh 5,05 persen.
Menurut Nurhadi, keberhasilan ekonomi tidak semestinya hanya diukur dari capaian angka makro.
“Ukuran pertumbuhan sejati tidak hanya diukur dari PDB, tetapi dari kemampuan keluarga pekerja memenuhi kebutuhan dasar seperti mencicil rumah, membeli bahan pokok, menyekolahkan anak, dan memiliki jaminan hari tua,” tegas legislator dari Dapil Jawa Timur VI tersebut.
Kondisi saat ini, lanjutnya, mencerminkan krisis ketimpangan naratif. Pemerintah mengumumkan keberhasilan ekonomi, namun banyak pekerja justru menghadapi ketidakpastian, kehilangan pekerjaan, dan melemahnya daya beli.
Nurhadi mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan dan BPS, untuk mengintegrasikan pelaporan data ekonomi dan ketenagakerjaan. Langkah itu dinilai penting agar publik memperoleh gambaran utuh mengenai arah dan dampak kebijakan.
Audit menyeluruh terhadap sektor padat karya yang terdampak gelombang PHK juga dianggap mendesak.
Selain itu, percepatan program pelatihan vokasi dan peningkatan keterampilan (upskilling) bagi tenaga kerja, terutama di sektor yang terimbas transformasi digital dan automasi, dinilai menjadi kebutuhan mendesak.
Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pun diminta diperkuat agar benar-benar memberi perlindungan nyata, bukan sekadar simbol kebijakan sosial.
“Jangan sampai pemerintah terlalu asyik dengan angka makro, tapi lupa bahwa yang paling penting adalah kualitas hidup rakyat. Rakyat tidak hidup dari statistik, mereka hidup dari upah, pekerjaan, dan rasa aman,” tutup Nurhadi.