Peran Media dalam Advokasi RUU Masyarakat Adat: Mendorong Pengakuan dan Keadilan

Simpulindo.com, – Upaya mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat terus mengemuka, dengan peran media sebagai salah satu pilar utama advokasi.

Dalam diskusi bertajuk “Mendukung Pengesahan RUU Masyarakat Adat: Jalan Panjang Menuju Pengakuan, Keadilan, dan Penghormatan Hak Masyarakat Adat di Tahun 2025”, Kaoem Telapak dan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menggandeng media nasional dan internasional untuk memperkuat narasi perjuangan ini.

Diskusi ini juga menghadirkan perwakilan masyarakat sipil guna menegaskan urgensi regulasi yang menjamin hak-hak Masyarakat Adat.

Sebagai penghubung antara Masyarakat Adat, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas, media memiliki kekuatan untuk meningkatkan kesadaran publik serta mempercepat pengakuan hak-hak Masyarakat Adat. Pemberitaan yang akurat dan berimbang dapat menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi, sekaligus menjadi alat kontrol publik yang menekan pemerintah dan legislatif agar segera mengesahkan regulasi yang berpihak pada mereka.

Sapariah Saturi, Managing Editor Mongabay Indonesia, menyoroti bagaimana selama ini Masyarakat Adat kerap menjadi korban ketika wilayah adat mereka tiba-tiba masuk dalam kawasan hutan atau menjadi bagian dari izin perusahaan serta proyek pemerintah.

diskusi bertajuk “Mendukung Pengesahan RUU Masyarakat Adat: Jalan Panjang Menuju Pengakuan, Keadilan, dan Penghormatan Hak Masyarakat Adat di Tahun 2025
diskusi bertajuk “Mendukung Pengesahan RUU Masyarakat Adat: Jalan Panjang Menuju Pengakuan, Keadilan, dan Penghormatan Hak Masyarakat Adat di Tahun 2025

Ia menegaskan bahwa loyalitas jurnalisme adalah kepada warga, dengan salah satu peran utama jurnalistik adalah memantau kekuasaan dan menyuarakan kepentingan mereka yang terpinggirkan.

“Lewat pemberitaan, media dapat memperkuat informasi, data, serta fakta lapangan yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan legislatif. Liputan mengenai konflik lahan, kriminalisasi Masyarakat Adat, hingga praktik kearifan lokal dalam menjaga alam dapat menjadi pijakan dalam pengambilan kebijakan,” ujar Sapariah.

Uli Artha dari WALHI Nasional menekankan bahwa RUU Masyarakat Adat bukan hanya kepentingan Masyarakat Adat semata, tetapi juga untuk keberlanjutan lingkungan secara luas.

“Hutan, gambut, dan ekosistem penting lainnya dapat terjaga berkat perlindungan dan pemulihan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat. Jika hak mereka tidak diakui, itu sama saja dengan mempercepat eskalasi krisis ekologi, iklim, dan identitas bangsa,” ungkapnya.

Regulasi yang menjamin hak-hak Masyarakat Adat hingga kini masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Meski konstitusi telah mengakui keberadaan mereka dalam Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945, belum ada aturan hukum konkret yang melindungi hak-hak mereka.

Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia menegaskan bahwa RUU ini harus dapat menyelesaikan konflik agraria serta memberikan kepastian hukum bagi Masyarakat Adat.

“Keberadaan mereka adalah keniscayaan. Tidak ada alasan lagi untuk terus mengingkari dan mengabaikan hak-hak mereka,” tegas Arimbi.

Dari perspektif pemuda dan perempuan adat, Anastasya Manong dari Kaoem Muda dan Kowaki Papua menyoroti perjuangan Masyarakat Adat Papua dalam menjaga kelestarian lingkungan.

“Orang muda Papua berada di garda terdepan dalam menjaga hutan kami. Bagi kami, hutan adalah ‘Mama’, sumber kehidupan yang harus dijaga. Kami akan terus berjuang untuk pengakuan wilayah adat kami,” ujarnya.

Veni Siregar, Senior Campaigner Kaoem Telapak dan Koordinator Koalisi RUU Masyarakat Adat, menyerukan agar media turut mengawal advokasi ini.

“Kami telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong dukungan publik serta berdialog dengan DPR, DPD RI, dan Pemerintah agar pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat dapat terakomodir dalam regulasi,” kata Veni.

Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Anggi Prayoga, menambahkan bahwa tahun 2025 merupakan momentum yang tepat untuk mengesahkan RUU ini.

“RUU Masyarakat Adat adalah solusi menuju Indonesia yang berdaulat, bermartabat, dan mandiri. Di tingkat global, pengesahan RUU ini juga berkontribusi dalam mengatasi dampak krisis iklim, terutama di sektor pangan, energi, dan air,” tutup Anggi.

RUU Masyarakat Adat yang diusulkan sejak 2009 telah berulang kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun hingga kini belum juga disahkan. Tahun 2024, RUU ini kembali masuk dalam Prolegnas 2025 dengan tujuan menjamin pengakuan, perlindungan, kepastian hukum, identitas budaya, serta keadilan lingkungan bagi Masyarakat Adat. Namun, tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi masih menjadi hambatan utama dalam proses pengesahannya.

Dengan dukungan penuh dari media dan masyarakat sipil, diharapkan tahun 2025 menjadi momentum lahirnya regulasi yang berpihak pada hak-hak Masyarakat Adat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *