Penulis: Wardoyo Dingkol.S.I.Kom.,M.I.Kom (NAKAMA)
Simpulindo.com, – Saya masih ingat, tahun 2018. Naruto menutup kisah panjangnya, dan seperti banyak anak muda yang tumbuh bersama Konoha, saya merasa ditinggalkan. Kosong. Seperti habis diputusin tapi masih menyimpan foto mantan di galeri. Lalu muncullah Monkey D. Luffy. Anak laki-laki bertopi jerami yang ingin menjadi Raja Bajak Laut. Sejak episode pertama, saya naik ke kapal Going Merry, dan tak pernah turun, bahkan ketika kapal itu tenggelam dan air mata saya ikut jatuh bersamanya. Kini saya ikut berlayar di Thousand Sunny, menembus Grand Line, Wano, Egghead, dan saat ini berlabuh di Pulau Elbaf.
Namun belakangan ini, pelayaran itu terasa terganggu. Ribut. Bising. Seperti ada orang yang tiba-tiba nyelonong naik ke kapal, selfie, lalu turun lagi sebelum tahu siapa itu Nico Robin. Ya, saya sedang bicara soal fenomena viralnya Jolly Roger Luffy di Indonesia.
Tiba-tiba, di mana-mana ada tengkorak bertopi jerami. Di stiker motor, kaos distro, bahkan masuk ke narasi politik. Luffy disandingkan dengan tokoh-tokoh elite. Prabowo disebut-sebut sebagai “metafora hidup dari dunia yang diciptakan Eiichiro Oda”. Seketika, saya ingin bertanya, siapa di antara kalian yang tahu siapa itu Portgas D. Ace? Siapa yang tahu sejarah Ohara? Atau kenapa Luffy memilih tertawa dalam penderitaan?
Sebagian dari mereka bahkan belum tentu bisa mengeja “Buster Call” tanpa typo.
Fenomena ini bukan sekadar lucu. Ia mencerminkan apa yang dalam kajian komunikasi disebut sebagai echo chamber, ruang gema, tempat orang hanya mendengar suara-suara yang mereka ingin dengar. Menurut Sunstein (2001), echo chamber mempersempit wawasan dan mengikis kemampuan berpikir kritis. Seseorang bisa merasa ahli hanya karena algoritma media sosial memanjakannya dengan konten Jolly Roger Luffy,, dipasangkan musik remix dangdut, kemudian FYP nya tembus jutaan. Maka lahirlah generasi “pura-pura paham” mereka yang tak pernah berlayar, tapi merasa pantas memegang kemudi.
Sebenarnya ini bukan isu baru. Di Jepang, Profesor Hiroshi Aramata menyebut Luffy sebagai simbol anarkisme positif tokoh yang melawan ketidakadilan bukan dengan kekerasan, tapi dengan solidaritas dan tawa. Di Inggris, Profesor William Proctor dari Bournemouth University memuji One Piece sebagai karya transmedia storytelling paling kompleks abad ini. Tapi di Indonesia, Luffy malah dijadikan bahan konten receh. Tak salah memang. Tapi tak elok juga jika ketidaktahuan dilabeli sebagai opini sah.
Teori Agenda Setting (McCombs & Shaw, 1972) menjelaskan bahwa media tidak memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan, tapi apa yang harus kita pikirkan tentang. Maka viralnya Jolly Roger bukan karena makna aslinya dimengerti, tapi karena algoritma berkata, “Ini lagi tren, ikutlah!”
Lebih dari itu, inilah yang disebut third person effect (Davison, 1983), mereka yang paling tidak paham justru merasa paling layak bicara. Ketika episode 1071 tayang, Gear 5 muncul dalam bentuk animasi, fans sejati merayakannya sebagai pencapaian naratif. Bukan sekadar power up, tapi simbol bahwa Luffy telah menjadi Joy Boy, bukan karena kekuatan nya, tapi karena keberaniannya tertawa di tengah penderitaan. Tapi apa yang muncul di TikTok? Joget absurd dengan caption, “Luffy jadi Joker?”
Serius?
Ini bukan sekadar soal fandom. Ini soal bagaimana budaya populer dibonsai menjadi konten instan. Dalam teori Uses and Gratifications, pengguna media sosial saat ini lebih butuh keterlibatan daripada pemahaman. Mereka tak mencari cerita, mereka ingin jadi bagian dari tren. Dan ketika tren itu sudah lewat, tengkorak itu akan dilupakan seperti meme basi.
Data mendukung kekhawatiran ini. Riset dari We Are Social (2025) menunjukkan bahwa 73% pengguna media sosial Indonesia lebih tertarik menonton short-form video berdurasi di bawah 60 detik daripada konten mendalam. Artinya, narasi panjang dan kompleks seperti One Piece nyaris mustahil dicerna utuh, yang penting viral, bukan valid.
Dan ironisnya, dalam kultur “mainkan, rekam, unggah, lupakan”, makna bisa dilucuti seenaknya. Padahal, simbol tengkorak bertopi jerami bukan estetika keren untuk feed Instagram. Ia adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang bobrok. Dunia Pemerintah Dunia. Langit-langit Marijoa. Para Tenryuubito yang hidup di atas penderitaan rakyat. Tapi ketika tengkorak itu dikomodifikasi menjadi elemen kampanye, saya tidak tahu apakah harus tertawa seperti Luffy atau menangis seperti Usopp di Enies Lobby.
Saya tak sedang sok elit atau eksklusif. Saya tahu fandom bersifat cair dan demokratis. Tapi saya juga percaya, One Piece bukan sekadar fiksi. Ia adalah komunikasi lintas generasi, lintas budaya. Ia mengandung kritik sosial, ketimpangan kekuasaan, dan filosofi hidup. Maka jika seseorang menyebut dirinya Nakama hanya karena ikut tren TikTok, saya mohon maaf: kita naik kapal yang berbeda.
Menjadi Nakama itu proses, bukan produk. Ia bukan merchandise, bukan feed, bukan likes. Ia adalah pelayaran panjang yang penuh luka, tawa, dan kehilangan. Ia adalah saat kamu menangis melihat Going Merry terbakar. Saat kamu ikut merinding ketika Luffy berkata “aku akan melindungi teman-temanku, meski mati!” Itu semua tak bisa dicapai hanya dengan satu video viral atau sekadar ikut arus trending.
Dan hari ini, ketika saya melihat orang-orang ramai bicara soal Jolly Roger, menyebut Luffy dengan nama terpotong, menyandingkan dia dengan politisi yang tak pernah berani tertawa di atas penderitaan rakyatnya, saya hanya bisa duduk diam. Lalu menulis ini. Bukan untuk menyindir. Tapi sebagai pengingat bahwa tidak semua yang ramai layak dipercaya, dan tidak semua yang tenang berarti tak punya suara.
Karena dalam dunia One Piece, hanya mereka yang mau berlayar yang tahu arah angin. Dan mereka yang hanya berdiri di dermaga sambil berselfie, mungkin tak akan pernah tahu rasanya ombak.