Menata Ulang Kawasan Hutan demi Keadilan bagi Masyarakat

Simpulindo.com, Jakarta – Ketua Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR Ahmad Heryawan menekankan pentingnya penyelesaian persoalan tumpang tindih tata ruang antara kawasan hutan dan permukiman masyarakat, termasuk wilayah transmigrasi.

Penegasan itu disampaikan saat memimpin Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Desa Masuk Kawasan Hutan: Menata Ulang Tata Ruang dan Keadilan Agraria”.

Diskusi digelar untuk mencari solusi atas permasalahan yang dialami masyarakat di berbagai daerah. Dalam sejumlah kasus, kawasan transmigrasi maupun desa justru dikategorikan sebagai bagian dari kawasan hutan akibat perubahan penataan ruang. Situasi tersebut dinilai merugikan warga yang telah lama bermukim di wilayah tersebut.

“FGD ini menjadi sarana menjembatani persoalan tumpang tindih antara kebijakan kehutanan dan kebijakan lainnya. Ada wilayah transmigrasi yang tiba-tiba masuk dalam kawasan hutan, padahal program transmigrasi merupakan program resmi negara,” kata Ahmad Heryawan, Kamis (24/7/2025).

Politikus Fraksi PKS itu menyoroti data yang menunjukkan lebih dari 25.000 desa berada dalam irisan kawasan hutan. Bahkan, sejumlah lahan milik warga yang telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dari Kementerian ATR/BPN turut terdampak karena dinyatakan masuk kawasan hutan.

“SHM sebagai bentuk kepemilikan tertinggi justru bertabrakan dengan status kawasan hutan. Situasi ini perlu diselesaikan. Hak masyarakat harus tetap dilindungi, termasuk mereka yang tinggal di desa dan kawasan transmigrasi,” ujarnya.

Selain itu, Ahmad menegaskan, penataan kawasan hutan tetap diperlukan demi menjaga fungsi ekologis dan keberlanjutan lingkungan. Namun, kebijakan tersebut tidak boleh mengesampingkan hak-hak masyarakat yang sudah lebih dahulu tinggal di wilayah bersangkutan.

“Penataan kehutanan tetap harus dihormati karena menyangkut masa depan lingkungan, tetapi tidak boleh dilakukan dengan cara merugikan warga yang telah bermukim secara sah,” kata mantan Gubernur Jawa Barat itu.

Dari hasil diskusi, mengemuka sejumlah kesepakatan normatif. Di antaranya, wilayah transmigrasi yang telah ditetapkan lebih dahulu sebagai kawasan permukiman sebelum adanya penataan kehutanan perlu dikeluarkan dari kawasan hutan. Hal serupa juga berlaku bagi lahan warga yang telah memiliki SHM sebelum perubahan status kawasan.

“Kesepakatan ini akan menjadi kekuatan moral dan akan disampaikan BAM kepada komisi serta lembaga terkait untuk menjadi bahan dalam penyusunan kebijakan kehutanan ke depan,” ucap Ahmad.

Lebih jauh, BAM berharap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dapat menuntaskan persoalan tumpang tindih tata ruang. Tujuannya agar ke depan terdapat satu peta nasional yang terintegrasi dan tidak tumpang tindih antar sektor.

“Pemerintah saat ini menunjukkan keberpihakan kuat pada rakyat. Semoga seluruh proses pemetaan ruang ke depan dapat menghasilkan satu peta nasional yang utuh, yang membedakan secara jelas kawasan hutan, pertanian, dan permukiman,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *