Penulis: Mega A.D. Mokoginta
(Aktivis Perempuan dan Penggiat Sosial)
Simpulindo.com, – Di tengah gegap gempita narasi pembangunan dan modernisasi yang dipertontonkan setiap hari di ruang publik, satu ironi tetap membayang, ketimpangan pendidikan. Sebuah luka yang tak kunjung sembuh, meski setiap tahun dijanjikan obatnya dalam rencana strategis dan anggaran negara.
Anak-anak kota menikmati kecanggihan digital dalam genggaman, bersentuhan dengan teknologi yang menjanjikan masa depan serba cepat. Tapi di sudut-sudut terpencil Nusantara, masih ada anak-anak yang belum pernah menggenggam buku. Membaca masih menjadi perjuangan, menulis pun seperti mendaki bukit yang curam. Namun mereka tetap bermimpi, dan mimpi itu tidak pernah surut.
Pendidikan, yang disebut sebagai hak dasar setiap warga, masih terkurung dalam jeruji bernama lokasi geografis, kelas sosial, dan logika pasar. Ketika jarak dan cuaca menjadi tantangan harian untuk bisa sampai di sekolah, ketika guru hanya hadir sesekali, maka negara tengah memperlihatkan wajah paling purbanya yakni abai.
Pendidikan bukan sekadar soal kurikulum, gedung, atau angka rapor. Seperti diungkap Paulo Freire, pendidikan adalah proses humanisasi. Dalam Pedagogy of the Oppressed, Freire menggugat sistem pengajaran yang memperlakukan murid layaknya celengan kosong, model pendidikan bank yang hanya mentransfer informasi tanpa kesadaran.
Pendidikan semestinya menjadi alat pembebasan. Ruang dialog yang membangun kesadaran, bukan mimbar yang menjejalkan dogma. Sebab memperjuangkan pendidikan yang adil bukan hanya soal menyediakan bangku dan papan tulis, tapi memastikan setiap anak di negeri ini diperlakukan sebagai manusia utuh.
Realitas hari ini jauh dari cita-cita itu. Pendidikan masih menjadi kemewahan yang harus ditebus mahal, terutama oleh anak-anak di daerah terpinggirkan. Mereka berhadapan dengan sinyal yang tak stabil, listrik yang padam di tengah pelajaran, bahkan ruang kelas kosong karena gurunya tak datang.
Ketika kemewahan teknologi hanya tersedia bagi yang dekat dengan pusat, pertanyaan mendesak yang mesti diajukan bukanlah teknis, melainkan etis. Ke mana larinya keadilan dalam sistem pendidikan kita?
Immanuel Kant pernah berkata, “Manusia hanya bisa menjadi manusia melalui pendidikan.” Ini bukan kutipan estetika untuk ruang seminar melainkan pengingat akan dimensi paling dalam dari pendidikan yaitu pembentukan akal dan nurani. Jika anak-anak di pelosok tak mendapatkan pendidikan yang layak, bukan hanya peluang yang dirampas, tetapi juga hak untuk tumbuh sebagai manusia seutuhnya.
Mendirikan sekolah bukan cuma soal mencetak infrastruktur, melainkan membangun simbol keadilan. Di balik dinding yang retak dan bangku yang nyaris roboh, tersimpan potensi untuk mengubah arah sejarah.
Lebih dari itu, pendidikan adalah wilayah politik. Tak pernah steril dari kepentingan dan keputusan kekuasaan. Dalam sunyi ruang kelas tanpa guru dan sekolah tanpa buku, sesungguhnya bekerja sistem yang memilih siapa yang pantas melanjutkan, dan siapa yang layak ditinggal.
Maka memperjuangkan pendidikan bukan sebatas urusan sosial, melainkan tindakan politis untuk meruntuhkan dinding ketimpangan yang dipoles jargon pemerataan.
Hari Anak Nasional yang setiap tahun dirayakan tak cukup hanya dengan seremoni dan panggung hiburan. Anak-anak bukan calon manusia, tapi manusia seutuhnya, hari ini juga. Mereka tak bisa menunggu sistem diperbaiki. Kitalah yang mesti memperbaiki sistem itu sekarang juga.
Pendidikan tidak bisa terus digantungkan pada satu kementerian. Ia adalah urusan kebangsaan. Tanggung jawab bersama seluruh warga yang masih percaya pada keadilan.
Saatnya membongkar paradigma lama yang menempatkan pendidikan semata sebagai investasi ekonomi. Pendidikan adalah perwujudan cinta dan penghargaan terhadap martabat manusia. Sebab hanya dengan cinta, cinta yang membebaskan, cinta yang melahirkan keberanian, pendidikan bisa menjadi jalan perubahan.
Mendidik anak-anak di pelosok bukanlah soal kemurahan hati, tapi keberanian moral untuk menyatakan bahwa setiap anak layak tumbuh dalam kemuliaan yang sama. Bahwa tak seorang pun boleh tertinggal hanya karena lahir jauh dari pusat kekuasaan.
Di tengah dunia yang berlomba menuju modernitas, marilah kita menengok ke pinggiran. Ke suara-suara kecil dari tepian negeri. Anak-anak yang ingin tahu, ingin belajar, ingin bermimpi.
Kita wajib menjawab suara itu. Bukan dengan janji, tapi dengan tindakan nyata. Tak boleh ada lagi anak yang tertinggal karena sistem memilih untuk melihat ke arah lain.
Sebab harapan bukan milik segelintir yang lahir di kota besar. Harapan adalah hak setiap anak Indonesia. Membebaskan mereka untuk bermimpi adalah tugas paling asasi dalam republik ini.