Simpulindo.com, – Masyarakat Adat di berbagai wilayah Indonesia telah membuktikan bahwa sistem pangan berbasis kearifan lokal tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan komunitas, tetapi juga menjaga keseimbangan ekologi.
Dengan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun, mereka menerapkan sistem pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berkelanjutan, menghindari eksploitasi sumber daya alam secara berlebih.
Di Papua, misalnya, keanekaragaman pangan sangat bergantung pada kondisi geografis wilayah adat.
“Masyarakat yang tinggal di dataran rendah mengelola sumber daya alam dengan membangun ‘dusun sagu’ yang dikelola berdasarkan hukum adat marga atau suku. Sementara itu, di dataran tinggi, pola pangan lebih berfokus pada budidaya umbi-umbian yang menjadi bagian dari tradisi turun-temurun,” ungkap Maria, Perempuan Mpur Kebar, Tambrauw, Papua Barat Daya, Selasa (25/2/2025).
Di Jawa Barat, masyarakat Kasepuhan menerapkan sistem kedaulatan pangan berbasis komunal dengan membangun ribuan ‘leuit’ atau lumbung padi.
“Leuit dapat menyimpan hasil panen selama bertahun-tahun, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga kami, tetapi juga untuk menjaga ketahanan pangan di wilayah adat kami,” ujar Sucia Lisdamara, Perempuan Adat Kasepuhan Bayah.
Ketahanan pangan berbasis kearifan lokal ini terbukti menjadi tameng kuat saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020. Laporan Ahmad Arif (2022) menunjukkan bagaimana komunitas adat mampu bertahan secara mandiri di tengah krisis.
Salah satu contohnya adalah Masyarakat Adat Boti di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka mengelola sumber daya alam secara bijak, memproduksi sendiri minyak kelapa untuk memasak, serta menerapkan teknik pengelolaan lahan yang memungkinkan panen umbi-umbian meskipun kondisi tanah kering.

Untuk memastikan seluruh anggota komunitas tetap tercukupi kebutuhan pangannya, Masyarakat Adat Boti mengandalkan modal sosial yang kuat.
“Selain memiliki kebun pribadi, Masyarakat Adat Boti mengelola kebun komunal yang dikelola secara kolektif. Proses penggarapannya dilakukan secara gotong royong oleh seluruh anggota komunitas, dan hasil panennya diperuntukkan bagi mereka yang mengalami kesulitan,” ungkap Bebie, anggota komunitas Masyarakat Adat Boti.
Tak hanya itu, Masyarakat Adat Boti juga mencatat fakta menarik.
“Kabupaten Timor Tengah Selatan termasuk daerah dengan kasus stunting tinggi di Provinsi NTT. Tapi tidak ada kasus ditemukan pada Masyarakat Adat Boti,” tegas Bebie.
Di berbagai daerah lain, kedaulatan pangan juga menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya. Di Nusa Tenggara Timur, Masyarakat Adat Leuhoe di Desa Hoelea II, Kabupaten Lembata, memiliki tradisi konsumsi pangan lokal jali-jali atau Leye dalam bahasa Kedang.
Tradisi Puting Watar Ka Leye mewajibkan perempuan dari suku tertentu untuk mengonsumsi Leye seumur hidup, menegaskan keterkaitan pangan lokal dengan adat dan budaya.
Sementara itu, di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, praktik pengelolaan perikanan berbasis kearifan lokal telah menjadi sistem pangan utama. Berbagai komunitas, seperti Panglima Laot di Aceh, Mane’e di Kepulauan Talaud, Ola Nua di Lamalera, dan Sasi Ikan Lompa di Pulau Haruku, telah membuktikan bahwa metode tradisional mereka efektif dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.
Studi di komunitas Paser sekitar mangrove Teluk Balikpapan juga menunjukkan bahwa ekosistem mangrove sangat berkaitan dengan ketahanan pangan mereka.
“Ikan, udang, kepiting, dan kerang adalah sumber pangan utama Masyarakat Adat Pesisir. ‘Pasar Hidup’ yang masih tersedia di sekitar rumah mereka menandakan ekosistem mangrove yang sehat. Jika mangrove hilang, Masyarakat Adat Paser kehilangan sumber pangan mereka,” kata Bagas Pangestu, aktivis lokal isu pesisir dan laut.

Mika Ganobal, Masyarakat Adat Kepulauan Aru, Maluku, menegaskan bahwa keberlanjutan pangan masyarakat adat yang mendiami pulau-pulau kecil sangat bergantung pada pengelolaan sumber daya alam yang bijak, dengan mempertimbangkan situasi dan fenomena alam seperti pasang surut, angin laut, curah hujan, dan fase bulan.
Dalam upaya memperkuat kedaulatan pangan berbasis komunitas, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat diharapkan dapat menjadi instrumen hukum yang mengakui dan melindungi hak-hak serta kearifan lokal mereka. RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025.
“RUU Masyarakat Adat adalah jalan menuju kedaulatan dan kemandirian Masyarakat Adat. Masyarakat Adat memiliki pengetahuan dalam pengelolaan sumber daya alam,” ujar Veni Siregar, Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat.
Menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan lingkungan adalah kunci dalam sistem pangan berbasis kearifan lokal.
“Ini menjadi momen refleksi untuk melihat bagaimana kebijakan pangan nasional dapat lebih inklusif dan berpihak kepada Masyarakat Adat. Dengan menjaga dan memperkuat sistem pangan mereka, kita tidak hanya melestarikan keanekaragaman hayati, tetapi juga memastikan generasi mendatang memiliki akses terhadap pangan itu sendiri dan membangun sistem pangan nasional yang adil dan berkelanjutan,” tutup Veni.