LMID Gorontalo : Revisi UU TNI Mengancam Demokrasi dan Menghidupkan Kembali Dwifungsi ABRI

Simpulindo.com, – Wacana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus menuai kritik. LMID Eksekutif Wilayah Gorontalo menilai revisi ini berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI, mengancam demokrasi, serta mengkhianati semangat reformasi.

Ketua LMID Gorontalo, Khalifah Ridho, dengan tegas menolak perubahan beberapa pasal yang dinilai semakin memperlebar keterlibatan TNI dalam ranah sipil dan ekonomi.

Salah satu sorotan utama adalah Pasal 39 Ayat 3 yang melarang prajurit TNI terlibat dalam aktivitas bisnis. Jika pasal ini dihapus, maka bukan tidak mungkin militer akan semakin jauh dari tugas utamanya sebagai penjaga pertahanan negara.

“Sekalipun dalihnya adalah untuk kesejahteraan prajurit, tetap saja ini tidak bisa dibenarkan. Sejatinya, kesejahteraan prajurit adalah tanggung jawab penuh negara. Jangan bersembunyi di balik revisi undang-undang demi melegalkan sesuatu yang jelas melanggar,” ujar Khalifah, Senin (17/3/2025).

Khalifah juga mengingatkan bahwa keterlibatan prajurit dalam bisnis berpotensi mengurangi profesionalisme TNI.

“Kalau ingin berbisnis, kenapa tidak sekalian mundur saja?” ujarnya

Fakta di lapangan pun menunjukkan bahwa keterlibatan oknum TNI dalam berbagai bisnis ilegal bukanlah isapan jempol belaka. Mulai dari tambang ilegal, judi online, hingga kasus perdagangan manusia, semuanya menegaskan bahwa ada celah yang semakin terbuka lebar bagi penyalahgunaan wewenang jika pasal ini dihapus.

Selain pasal soal bisnis, LMID Gorontalo juga menyoroti Pasal 47 Ayat 2 yang mengatur keterlibatan anggota TNI dalam jabatan sipil. Saat ini, hanya ada 10 jabatan kementerian/lembaga yang bisa diisi oleh prajurit aktif. Namun, revisi UU TNI berencana menambah jumlah itu menjadi 15. Lebih dari itu, ada frasa baru yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil sesuai kebijakan presiden.

Khalifah menyinggung beberapa kasus yang sudah terjadi, seperti penunjukan Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet meski masih aktif sebagai anggota militer.

“Alih-alih dikritik, ia justru mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel. Belum lagi penunjukan Direktur Utama Bulog yang juga seorang prajurit aktif TNI. Ini jelas melanggar UU yang ada, tetapi tetap terjadi di depan mata kita,” kata Khalifah.

Fenomena ini, menurut LMID, bukan sekadar pelanggaran aturan, melainkan cerminan bagaimana kekuasaan pemerintah semakin menunjukkan dominasinya atas hukum.

“Negara kita negara hukum, bukan negara kekuasaan. Tapi yang terjadi sekarang seolah menunjukkan sebaliknya,” tegas Khalifah.

Revisi yang Justru Melegitimasi Pelanggaran

Alih-alih menyelesaikan persoalan kultural di tubuh TNI, revisi UU ini justru dianggap sebagai bentuk legalisasi atas pelanggaran yang selama ini terjadi.

“Sebelumnya, mereka yang melanggar aturan bisa dianggap melanggar hukum. Tapi kalau revisi ini sah, mereka justru punya dasar hukum untuk melakukannya,” kritiknya.

Sejak wacana revisi ini bergulir pada pertengahan 2024, LMID Gorontalo sudah tegas menyatakan penolakan.

“Kami bukan hanya menolak revisi UU TNI, tetapi juga revisi UU Polri dan Kejaksaan yang berpotensi merusak tatanan hukum negara ini,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *