Simpulindo.com, – Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Kehutanan mendesak Panitia Kerja Undang-Undang Kehutanan DPR untuk membuka proses revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara transparan.
Sejak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024–2029, proses konsultasi dinilai tidak berjalan terbuka dan jauh dari prinsip partisipasi bermakna. Regulasi ini disebut masih melanggengkan tafsir kolonial atas konsep hak menguasai negara.
Juru bicara Koalisi dari Indonesia Parliamentary Center, Arif Adi Putro, menyampaikan konsultasi revisi UU Kehutanan telah dilakukan tiga kali. Namun, dua di antaranya berlangsung tertutup tanpa dokumentasi publik. Bahkan, rekaman rapat tidak tersedia di kanal resmi parlemen.
“Publik tidak tahu apa yang dinegosiasikan Komisi IV dengan asosiasi pengusaha. Dokumen rancangan undang-undang pun tidak dibuka, sementara forum dengan masyarakat sipil sangat terbatas. Proses legislasi ini jauh dari prinsip keterbukaan,” ujar Arif, Minggu (17/8/2025).
Koalisi menolak jika revisi UU Kehutanan diputuskan tanpa partisipasi publik. Menurut Arif, risiko yang muncul adalah rakyat dan masyarakat adat kehilangan kebun, rumah, serta hutan yang diklaim sepihak sebagai kawasan hutan negara.
Warisan Kolonial
Dari Perkumpulan HuMa, Rendi Oman Gara mempertanyakan, “Benarkah bangsa Indonesia sudah benar-benar terbebas dari penjajahan di usia ke-80?” Menurutnya, persoalan struktural kehutanan masih membelenggu. Hutan sebagai kekayaan bersama justru dimonopoli negara dan swasta melalui institusi yang menguasai pohon dan tenaga kerja.
“Penjajahan atas rakyat bermula ketika kolonial merebut hutan sebagai sumber agraria untuk dieksploitasi, dengan menetapkan hutan sepenuhnya milik negara,” kata Rendi.
Politik hukum kolonial Belanda, lanjutnya, bertumpu pada teori Raffles yang menempatkan seluruh tanah sebagai milik raja, lalu beralih menjadi milik negara kolonial. Negara kemudian menjadi super landlord yang berwenang menguasai tanah sekaligus menarik pajak bumi.
Akibatnya, tanah tanpa bukti eigendom dianggap sebagai landsdomein. Kondisi ini membuat rakyat berisiko diusir, dikriminalisasi, sementara hukum adat diabaikan. Model kolonial ini dinilai masih terlihat ketika negara sepihak mengklaim kawasan hutan sebagai milik negara.
Padahal, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan hak menguasai negara hanyalah mandat dari rakyat. Karena itu, hak tersebut tidak boleh lebih tinggi daripada hak bangsa.
Menyimpang dari Mandat UUPA
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menekankan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria 1960 menempatkan negara bukan sebagai pemilik tanah, melainkan pengatur untuk kemakmuran rakyat. Fungsi negara mencakup penyusunan kebijakan, pengaturan, perizinan, pengelolaan, hingga pengawasan.
Namun, UU Kehutanan dinilai menyimpang dari mandat tersebut. Negara bertindak seolah pemilik tunggal hutan dengan memberikan izin, lisensi, dan konsesi skala besar kepada korporasi. Akibatnya, rakyat tersingkir dari tanah dan sumber kehidupan.
“Selama 26 tahun implementasi, UU Kehutanan gagal memerdekakan rakyat, justru menyengsarakan dengan mengeksklusi mereka dari tanah sebagai sumber kehidupan,” ujar Dewi.
Deforestasi dan Kerentanan
Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Tsabit Khairul Auni, menilai UU Kehutanan masih mewarisi pola kolonial. Konsep hak menguasai negara dalam Pasal 4 ditafsirkan seolah hak kepemilikan mutlak negara, mirip asas domein verklaring era Belanda.
“Data FWI 2025 menunjukkan 65,26 persen daratan dan perairan Indonesia diklaim sebagai kawasan hutan negara. Proses penunjukan hingga penetapan berlangsung tanpa keterbukaan dan partisipasi. Sementara itu, hutan terus menyusut dengan rata-rata deforestasi 2,01 juta hektare per tahun pada periode 2017–2023,” ujar Tsabit.
Menurut dia, tekanan ekologis semakin besar, kerentanan bencana meningkat, sementara hak rakyat tetap diabaikan. Kondisi ini menunjukkan tata kelola hutan gagal memerdekakan rakyat.
Peneliti Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, mencatat bahwa pada 2024 luas hutan yang hilang mencapai 216 ribu hektare. Kebakaran hutan dan lahan bahkan telah membakar 115 ribu hektare hingga pertengahan tahun, termasuk lahan gambut. Situasi tersebut membuat masyarakat kehilangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin konstitusi.
Lemahnya Pengawasan
Nora Hidayati dari Perkumpulan HuMa menyoroti lemahnya fungsi pengawasan dalam UU Kehutanan. Padahal, pengawasan merupakan kunci untuk melindungi hak rakyat sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
“UU Kehutanan terbukti gagal melindungi dan memerdekakan rakyat dalam mengakses sumber agraria, justru negara yang mengambilnya. Revisi UU harus menegaskan kembali fungsi hutan sebagai penopang kehidupan, bukan sekadar objek eksploitasi,” tegas Nora.
Tuntutan Perombakan Total
Koalisi Masyarakat Sipil menekankan, bagi petani, masyarakat adat, nelayan, dan perempuan, kemerdekaan berarti terbebas dari penghisapan negara maupun swasta atas tanah dan hutan. Karena itu, akses dan kontrol atas hutan perlu diberikan secara luas, terutama bagi kelompok yang rentan kehilangan sumber hidupnya.
Dalam momentum Hari Kemerdekaan, koalisi menuntut negara segera membebaskan rakyat dari konflik agraria, kerusakan lingkungan, kemiskinan, kriminalisasi, serta perampasan ruang hidup.
Sebagai jalan menuju kemerdekaan sejati, Koalisi mendesak perombakan total UU Nomor 41 Tahun 1999. Mereka mendorong lahirnya UU Kehutanan baru yang menjamin keadilan agraria-ekologis, mengakui hak masyarakat adat dan komunitas lokal, serta disusun dengan transparansi dan partisipasi publik yang bermakna.