Penulis: Abd. Firman Bunta (Dosen PPKn, Universitas Negeri Gorontalo)
Simpulindo.com, Gorontalo – Sejak otonomi desa berlaku, makna kewargaan tampak begitu kompleks. Status administrasi tidak cukup untuk memenuhi jaminan hak dan kewajiban. Sebaliknya, kewargaan terbentuk atas hasil rekayasa sosial yang dipengaruhi oleh dinamika yang intens antara negara, komunitas lokal, dan struktur tradisi. Itulah sebab, kewargaan mencerminkan keberlangsungan negosiasi dalam ruang sehari-hari kehidupan masyarakat.
Di Taliabu, Maluku Utara, menunjukkan bagaimana praktik kewargaan mengalami kendala struktural akibat kekuasaan yang tumpang-tindih antara mekanisme negara modern dan warisan kekuasaan tradisional. Kewargaan dalam situasi ini tidak berlaku universal, melainkan menurut Iris Marion Young (1990) dan Shubhanginee Singh (2024) memerlukan pengecualian perlakuan (differentiated citizenship), mengingat partisipasi politik sering kali dikondisikan oleh hubungan kekerabatan personal dalam hirarki lokal.
Sejumlah desa di Taliabu Utara, birokrat tampil dengan wajah ganda, di satu sisi merepresentasikan negara dan di lain sisi sebagai pemangku kepentingan institusi lokal. Meskipun kepemimpinan desa dipilih melalui prosedur formal, faktanya didominasi oleh marga tertentu yang telah lama memperkuat legitimasi politiknya. Akibatnya, logika klientelisme mengatur akses ke sumber daya setempat. Alih-alih mendukung asas meritokrasi, penentuan jabatan justru karena posisi ‘istimewa’ personal dengan elite dinasti. Kondisi ini menciptakan kewargaan bersifat patronase, yaitu hak-hak warga diperoleh dari kekuatan jaringan informal ketimbang prosedur hukum dari negara.
Musyawarah desa, idealnya adalah forum deliberatif bagi warga dalam menentukan kualitas pembangunan. Apa yang mengemuka hanya memunculkan dilema sosial yang beresonansi dengan keberlanjutan dominasi elite tertentu. Suara-suara ‘kritis’ sulit untuk tumbuh mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Cara-cara instan seperti rekayasa administrasi dan penyederhanaan tahapan kegiatan kerap digunakan secara terselubung untuk mengabaikan keberagaman aspirasi. Eksklusi jenis ini menciptakan normalisasi struktur sosial yang dianggap lumrah. Akhirnya, kebanyakan warga memilih diam sebagai langkah protes tanpa konfrontasi langsung. Mereka bersikap pasif, bahkan sinisme terhadap program pemerintah.
Keadaan problematis demikian serta-merta terbangun dari pertarungan identitas setempat dan ketidakpastian kebijakan negara. Struktur budaya diakui memupuk semangat kolektif, akan tetapi seringkali menghambat akses kepada kesetaraan hak-hak warga. Di sini, menguji debat tentang kewargaan antara etika komunitarian yang menekankan solidaritas dengan prinsip liberal yang mengandalkan hak individu. Engin Isin (2021) menjelaskan, bahwa kewargaan menyangkut tindakan progresif (acts of citizenship), yaitu memungkinkan bagi warga untuk menegosiasikan kembali posisi mereka dalam menggugat ketimpangan dan memperluas area pengakuan.

Kewargaan di Taliabu tidak berlangsung dalam medan yang setara. Namun, sarat dengan ambiguitas, kesenjangan akses, dan relasi kuasa di antara negara dan komunitas lokal. Fakta ini berlainan dengan asumsi dasar kewargaan liberal yang berupaya memfasilitasi warga sebagai subjek yang rasional. Warga sebagian di Taliabu Utara selama ini mengandalkan kapasitas jaringan sosial dan cenderung bergerak mengikuti loyalitas kelompok, serta unit perantara yang dipercaya dekat dengan pusat kekuasaan.
Kedudukan seseorang memiliki daya tawar yang tinggi bagaimana hak-hak warga tersalurkan. Di sini, proses distribusi hak tidak netral, semuanya dibentuk dan disusun melalui relasi yang tak kasat, tapi kuat mencengkeram. Inilah mengapa mereka berada pada posisi rentan, terus-menerus mengkompromikan keberadaannya selaku warga negara juga sekaligus anggota komunitas. Keadaan seperti itulah menciptakan ruang bagi munculnya “kewargaan yang tersendat”, yaitu status yang tidak tuntas, selalu terperosok dalam dilema afiliasi dan ketidakpastian akses terhadap hak-hak dasar.
Fenomena relasi kuasa ini bukan sekadar menjadi penilaian kritis bagaimana penyelenggaraan desa dipraktekkan, melainkan refleksi yang menjangkau pemahaman baru memaknai kewargaan berdasarkan kenyataan di masyarakat. Implikasinya, program pembangunan yang dicanangkan dari pusat pun akan berisiko gagal menjawab tuntutan kalangan akar rumput apabila tidak sesuai pengalaman hidup masyarakat. Penting untuk mengembangkan model representasi dan partisipasi yang lebih peka terhadap pluralitas sosial, serta membuka kesempatan bagi bentuk-bentuk kewargaan alternatif yang tumbuh dari bawah. Kehadiran negara tidak cukup mengutamakan regulasi, penting pula menjembatani keragaman kondisi warga dengan kepentingan publik.
Komunitas lokal di saat bersamaan, perlu menghindari kecenderungan yang menghalangi akses dan partisipasi. Struktur sosial yang tertutup berpeluang merugikan anggota kelompoknya sendiri, terutama bagi pihak yang berada di luar jejaring dominan. Karena itu, pembaruan kewargaan di wilayah periferal seperti Taliabu meniscayakan transformasi dari reformasi kebijakan negara yang kontekstual, dan demokratisasi struktur sosial komunitas yang inklusi.
Ketika negara dan komunitas lokal berjalan beriringan, antara hukum formal dan norma sosial, kewargaan menjadi medan emansipasi, bukan sebagai jerat pemisah. Kewargaan yang terbatas adalah peringatan, bahwa pembangunan belum sepenuhnya menyentuh substansi pengakuan, kesetaraan partisipasi, dan keadilan sosial.