Penulis: Abdul Rajak Babuntai
Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Jayabaya, Jakarta
Simpulindo.com, – Siapa sangka, Kesya Botutihe, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Boalemo, harus menghadapi hujatan, makian, dan bullyan di dunia maya akibat ucapannya yang dianggap menghina profesi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Dalam sebuah video berdurasi 43 detik yang viral di Facebook pada Sabtu, 15 Maret 2024, Kesya terlihat sedang berbicara (curhat) dengan seorang temannya dalam ruang percakapan TikTok yang disiarkan langsung. Dalam percakapan tersebut, Kesya mengungkapkan rasa kesalnya terhadap seorang suami dari kenalannya yang menghina dirinya dengan berkata, “Mo bilang otak goblok, mar ASN.” Kesya pun kemudian melontarkan kalimat, “Bukan cuma ASN kita, PNS soalnya, bukan PPPK kita uti,” yang menegaskan perbedaan status antara PNS dan PPPK.
Sontak, video ini memicu perdebatan hangat. Banyak yang menilai ucapan Kesya sebagai bentuk penghinaan terhadap golongan PPPK. Namun, jika kita telusuri lebih dalam, apa yang dilakukan Kesya sesungguhnya mencerminkan fenomena sosial yang lebih umum kita temui: ketegangan antar kelompok profesi yang seringkali berhubungan dengan status sosial dan pekerjaan. Ketika Kesya menyebutkan bahwa dirinya adalah PNS dan bukan PPPK, ia tampak ingin menegaskan kedudukannya yang lebih tinggi dalam hierarki ASN. Sikap ini mencerminkan betapa banyak orang merasa perlu untuk menunjukkan perbedaan status, pangkat, atau kedudukan sebagai pembuktian diri mereka.
Sikap Kesya, meskipun dapat dipahami dari sudut pandang emosional, bisa juga dianggap sebagai bentuk “pamer kemewahan,” sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Ariel Heryanto. Dalam tulisannya, Ariel menyatakan, “Pamer kemewahan sangat manusiawi. Setiap orang punya gairah pamer diri atau kehidupan di sekitarnya” (Kompas, 25/03/2023).
Dalam konteks ini, Kesya yang mengidentifikasi dirinya sebagai ASN bukanlah sebuah kesalahan. Itu adalah hal yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia yang cenderung mencari pengakuan atau status sosial. Fenomena serupa sering kita temui di media sosial, di mana banyak orang berlomba-lomba memamerkan kekayaan, status, kedudukan, atau pencapaian mereka. Semua itu demi satu tujuan: untuk mendapatkan kekaguman dari orang lain.
Ramadan Kita
Ramadhan adalah bulan suci yang penuh berkah, dimana umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa sebagai bentuk pengendalian diri, penguatan ketakwaan, dan berbagi dengan sesama. Namun, di tengah keberkahan bulan Ramadhan, tak sedikit orang yang justru memanfaatkannya sebagai ajang untuk pamer kemewahan.
Kita sering melihat siapa yang memiliki dekorasi rumah paling mewah, siapa yang mengenakan pakaian paling glamor, atau siapa yang memiliki karir paling sukses. Bahkan, fenomena pamer kemewahan di bulan Ramadhan ini pernah disinggung oleh Suwarno (Ustad Korek Api) dalam materi ceramahnya.
Ustad Korek Api menyebutkan bahwa orang-orang di Gorontalo, seringkali “Mo ganti horden de to puasa (Mengganti gorden, nanti saat bulan puasa), mo ceti bele de to puasa, (Mengecat rumah, nanti di bulan puasa), Mo gandi kaini de to puasa (Mengganti pakaian, nanti di bulan puasa),” hingga “Mohutu kukisi de to puasa (Membuat kue, nanti di bulan puasa).” Ini menggambarkan bagaimana sebagian orang di Gorontalo lebih fokus pada penampilan dan konsumsi material di bulan yang seharusnya penuh dengan pengendalian diri.
Mengapa Ramadan, yang seharusnya menjadi waktu untuk introspeksi dan perbaikan diri, justru sering kali menjadi ajang pamer kemewahan? Sebagaimana pertanyaan reflektif yang disampaikan oleh Dr. Funco Tanipu dalam tulisannya “500 Tahun Ramadan di Gorontalo”, mengapa Ramadan kita belum menunjukkan perubahan signifikan dalam kehidupan sosial, seperti yang seharusnya terjadi jika kita benar-benar memahami esensi berpuasa? Tentu kita harus mengakui bahwa di Gorontalo, terutama, Ramadan kita masih jauh dari pencapaian nilai-nilai ketakwaan yang seharusnya dapat kita raih. Namun, bukan berarti kita harus berhenti berusaha untuk memperbaikinya dari waktu ke waktu. Jangan sampai puasa kita hanya sekadar untuk menahan lapar dan haus, sebagaimana yang pernah diingatkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Momen Introspeksi
Fenomena pamer kemewahan yang terjadi selama Ramadan, seperti yang terlihat juga pada tindakan Kesya, bisa menjadi momentum penting bagi kita untuk melakukan introspeksi kolektif mengenai pemaknaan puasa secara esensial. Ramadan seharusnya menjadi sarana untuk membersihkan hati dan jiwa, melatih kepedulian terhadap sesama, dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan.
Jika kita terlalu sibuk memamerkan kemewahan dan berharap mendapatkan kekaguman dari orang lain, pada akhirnya kita justru akan lebih banyak menuai iri hati dan kecemburuan dari mereka. Padahal, kebaikan dan sikap rendah hati sering kali lebih mendatangkan rasa kagum yang tulus dari orang lain dibandingkan dengan memamerkan kekayaan, status, dan kedudukan.