Simpulindo.com, – Pilkada Gorontalo Utara tak sekadar momen demokrasi; ia adalah cermin dari kompleksitas dinamika politik daerah. Sayangnya, kita kerap melihat anak muda terpikat pada sikap “ikut-ikutan,” terutama dalam percaturan opini di media sosial.
Fenomena seperti ini, yang awalnya tampak sepele, sebenarnya menggambarkan bagaimana prinsip rasionalitas dan keadilan dalam memilih sering kali dikorbankan demi memenuhi ekspektasi sosial atau mengikuti arus tren.
Sikap ikut-ikutan dalam politik tak akan pernah menjadi landasan perubahan signifikan. Bahkan, saat pilihan ini didorong oleh emosi sesaat atau terpaan viral opini, anak muda yang justru dikenal sebagai kelompok berpikir kritis menjadi rentan terpengaruh.
Ironis, mereka yang seharusnya mampu menyaring informasi dengan bijak malah sering terbawa pada pusaran kampanye emosional atau kabar viral yang tak jarang minim substansi. Ini ironi yang harus kita cermati.
Anak muda bukan sekadar pemilih; mereka adalah agen perubahan yang memiliki daya kritis untuk memilih berdasarkan kualitas kepemimpinan, bukan popularitas semata. Pilihan yang ditopang informasi sahih serta penilaian jernih atas program yang ditawarkan calon akan membawa manfaat nyata bagi pembangunan daerah.
Saatnya anak muda Gorontalo Utara melihat pilkada ini bukan sekadar ajang pesta demokrasi, melainkan kesempatan untuk memberikan kontribusi pemikiran kritis, dialog yang bermutu, serta keputusan yang berdampak bagi masa depan. Ini adalah saat untuk memilih pemimpin yang tak hanya populer, tetapi siap berkomitmen, memahami kebutuhan masyarakat, dan mampu merancang kebijakan berjangka panjang yang inklusif.
Pilkada ini adalah ujian: apakah Gorontalo Utara akan maju atau terjebak dalam status quo. Sebagaimana kata filsuf politik John Stuart Mill, “Seseorang yang tak mampu berpikir untuk dirinya sendiri, tak layak memilih dengan bijak.” Pilihan yang diambil tanpa landasan pemikiran mendalam takkan membawa kemajuan, melainkan hanya menyisakan stagnasi.