Simpulindo.com, Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono, menegaskan perlunya pelurusan pemahaman publik mengenai istilah “beras oplosan” yang kembali mencuat dalam pemberitaan serta menjadi bagian dari polemik pangan nasional.
Riyono menjelaskan bahwa tidak terdapat istilah resmi “beras oplosan” dalam regulasi. Yang ada adalah ketidaksesuaian antara mutu dan label pada kemasan produk beras.
“Rilis saya memang menjelaskan makna ini agar masyarakat tidak salah kaprah dalam memahami kualitas beras. Istilah ‘beras oplosan’ terlalu bias dan menimbulkan kesan negatif, padahal dalam praktiknya, pencampuran beras dilakukan untuk menyesuaikan kualitas rasa dan harga jual,” kata Riyono, Kamis (7/8/2025).
Menurut Riyono, Beras memiliki beragam kualitas. Mulai dari jenis premium seperti rojo lele, hingga kualitas medium dan rendah. Dalam praktik industri perberasan, pencampuran jenis-jenis beras tersebut merupakan hal yang lumrah dan dibenarkan, selama kandungan gizi tetap terjaga serta mutu sesuai dengan label yang tertera.
“Beras medium sendiri merupakan hasil campuran antara beras kualitas sedang dan rendah. Yang dimaksud rendah ini seperti menir, yakni beras yang butirannya rusak karena proses penggilingan atau kadar air tinggi. Menir murni tidak layak konsumsi dan umumnya digunakan untuk pakan ternak atau olahan seperti tepung beras. Tapi jika dicampur dengan beras sedang, maka bisa jadi beras medium dengan rasa yang tetap bisa diterima,” papar politisi Fraksi PKS ini.
Pencampuran beras, lanjut Riyono, bukan semata menyangkut harga, melainkan juga berkaitan dengan karakter rasa.
“Setiap jenis beras punya karakter, (misalnya) ada yang pulen, ada yang keras, ada yang cocok untuk jenis masakan tertentu. Maka pencampuran itu untuk menciptakan rasa dan kualitas yang diinginkan pasar. Ini sah-sah saja, selama tidak menipu konsumen,” ujarnya.
Pandangan kritis disampaikan pula terhadap penggunaan istilah “beras oplosan” dalam narasi yang berkembang di tengah langkah penindakan Satgas Pangan. Menurutnya, pendekatan yang digunakan seharusnya lebih tepat sasaran.
“Kalau labelnya menyebut kualitas tertentu, tapi isinya tidak sesuai, itu baru pelanggaran. Itu penipuan. Tapi jangan lantas semua beras campuran disebut oplosan dan dianggap ilegal. Ini akan merugikan pedagang dan bisa berdampak pada harga di pasar,” pungkas Riyono.