Barisan.id, Gorontalo – Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Jejaring Aktivis Perempuan dan Anak (Jejak Puan) Provinsi Gorontalo mendesak pihak sekolah agar tidak mengeluarkan siswi yang menjadi korban kekerasan seksual oleh oknum guru. Kasus ini mencuat setelah video syur yang melibatkan guru dan murid di Gorontalo viral di media sosial.
Ketua Bidang Riset Sahabat Anak, Perempuan, dan Keluarga (Salam Puan), Novi R. Usu, menyampaikan bahwa sekolah harus mendukung siswi tersebut agar dapat melanjutkan pendidikannya.
“Kami sangat menyayangkan mengapa pihak sekolah justru memutuskan untuk mengeluarkan siswa tersebut,” kata Novi dalam konferensi pers yang diadakan oleh Jejak Puan pada Minggu (29/9/2024).
Ia menekankan bahwa sekolah sebagai rumah kedua bagi siswi tersebut seharusnya memberikan perlindungan dan pendampingan, terutama karena korban masih di bawah umur dan tergolong rentan terhadap kekerasan seksual.
Novi juga mempertanyakan apakah pihak sekolah sudah mendengar keinginan korban terkait kelanjutan pendidikannya.
“Saya sedang membayangkan saat ini anak tersebut sedang apa? siapa yang menemani dan jadi tempatnya bercerita? dukungan apa yang dia perlukan?” tuturnya.
Di sisi lain, Kusmawaty Matara, Direktur Woman Institute for Research and Empowerment of Gorontalo (Wire-G), juga mempertanyakan kebijakan sekolah yang mengeluarkan korban dan mencarikan sekolah lain.
“Apakah ada jaminan korban ini tidak akan mengalami perundungan di sekolah barunya?” tanyanya.
Menurut Kusmawaty, dukungan dari sekolah lama sangat penting untuk membantu korban pulih dari trauma, asalkan dilakukan dengan pendekatan yang fokus pada kepentingan korban.
Hal serupa disampaikan oleh Direktur Lembaga Riset, Hukum dan Gender (Leaders) Gorontalo, Hijrah Lahaling, yang berharap sekolah tetap mendukung korban.
Hijrah menegaskan bahwa sekolah seharusnya tidak merasa malu karena kasus ini, tetapi justru menunjukkan kepedulian kepada korban agar siswa lainnya juga berani melapor jika mengalami kekerasan.
“Tindakan sekolah untuk mendukung korban akan mendapat apresiasi. Siswa lainnya juga akan lebih percaya diri untuk berbicara jika mengalami kekerasan, karena mereka tahu bahwa sekolah mendukung mereka,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar sekolah mengajak seluruh siswa untuk tetap berempati dan mendukung korban agar dapat melanjutkan sekolah dengan baik.
Terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru terhadap siswanya, Jejak Puan menegaskan bahwa pelaku dapat dijerat dengan berbagai Undang-Undang (UU) karena statusnya sebagai pendidik.
Hijrah Lahaling menjelaskan bahwa pelaku dapat dikenakan UU Perlindungan Anak, Pasal 81 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3), serta Pasal 82 dan 83, yang mengatur tentang tindakan kekerasan seksual terhadap anak.
Menurut Pasal 81 Ayat 3, apabila tindak pidana dilakukan oleh pendidik atau tenaga kependidikan, hukuman yang dijatuhkan dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana maksimal. Selain itu, pelaku juga dapat dijerat dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru.
Hijrah menegaskan bahwa alasan “suka sama suka” tidak dapat menjadi pembenaran bagi pelaku untuk menghindar dari jeratan hukum. Ia mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 28 B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan.
“Atas dasar itu, tidak benar jika korban justru dikeluarkan dari sekolah. Kami berharap pihak sekolah memberikan dukungan penuh kepada korban,” tutupnya.