Kualitas Perumahan Tipe 36 Disorot, DPRD Kota Minta Perkim Perketat Pengawasan

Simpulindo.com, – Anggota DPRD Kota Gorontalo, Totok Bachtiar, menyoroti buruknya kualitas infrastruktur pada perumahan tipe 36 yang tersebar di Kota Gorontalo. Ia menilai, banyak kawasan perumahan dengan tipe tersebut terkesan kumuh akibat sarana dan prasarana yang tidak memadai, terutama jalan lingkungan yang rusak parah.

“Realitanya, banyak perumahan tipe 36 memiliki akses jalan yang sudah tidak layak. Bahkan, kondisinya sudah seperti kolam saat musim hujan. Ini selalu menjadi keluhan utama warga dalam setiap masa reses,” kata Totok, Jumat (16/5/2025).

Menurut Totok, persoalan tersebut sejatinya menjadi tanggung jawab pihak pengembang. Ia menegaskan bahwa dalam proses pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) kepada bank, para pengembang seharusnya sudah menyertakan komitmen penyediaan infrastruktur dasar seperti saluran air, jaringan listrik, air bersih, hingga jalan lingkungan.

“Masalahnya, tanggung jawab pengembang sering kali diabaikan. Setelah proyek selesai dan unit rumah terjual, beban infrastruktur justru dilempar ke pemerintah,” ujarnya.

Totok pun meminta agar Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kota Gorontalo lebih tegas dalam mengawasi pelaksanaan pembangunan perumahan. Salah satu langkah konkret yang disarankan adalah pengetatan proses verifikasi terhadap site plan yang diajukan pengembang, dan memastikan seluruh fasilitas umum direalisasikan sesuai perencanaan awal.

“Perkim jangan hanya menerima gambar site plan, tapi harus mengawasi apakah pembangunan betul-betul mengikuti rencana. Kita ingin pembangunan dilakukan dengan tanggung jawab, bukan asal jadi,” kata Totok.

Totok juga menyoroti soal keterbatasan fitur rumah tipe 36, khususnya tidak adanya dapur permanen dalam beberapa unit. Dengan total anggaran pembangunan sekitar Rp174 juta hingga Rp176 juta per unit, sudah seharusnya rumah tersebut dilengkapi fasilitas dasar seperti dapur yang layak.

“Masak dapurnya hanya dibuat dari tripleks atau seadanya saja? Ini rumah subsidi. Harusnya bisa dibuat dapur permanen agar penghuni merasa tinggal di rumah yang benar-benar layak huni,” katanya.

Lebih jauh, Totok mengungkapkan bahwa dalam proses pembangunan kawasan permukiman, pada dasarnya terdapat ketentuan yang mengharuskan pengembang menyediakan lahan untuk fasilitas umum. Dari total luas lahan yang dikelola, sekitar 40 persen di antaranya wajib dialokasikan untuk fasilitas umum seperti jalan, saluran air, taman, hingga rumah ibadah.

“Kalau luas lahan 10 ribu meter persegi, maka hanya sekitar 6 ribu meter persegi yang bisa dibangun rumah. Sisanya harus untuk fasilitas umum. Ini sudah diatur dalam kesepakatan antara pengembang dan pemerintah sejak awal,” ujarnya.

Namun pada praktiknya, menurut Totok, banyak pengembang mengabaikan ketentuan tersebut. Akibatnya, ketika warga mulai menempati rumah, berbagai persoalan seperti jalan rusak dan saluran air yang tidak memadai mulai muncul. Celakanya, solusi atas masalah ini justru dibebankan kepada pemerintah daerah.

“Padahal, ada komponen biaya dalam KPR yang bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Informasinya, sekitar Rp6 juta per unit rumah bisa dialokasikan untuk pembangunan jalan. Tapi karena tidak diawasi ketat, dan tidak ada akuntabilitas, dana itu entah ke mana,” tutur dia.

Totok mengingatkan bahwa dengan keterbatasan anggaran pemerintah daerah, tidak mungkin seluruh kebutuhan infrastruktur di kawasan perumahan dapat dibiayai oleh APBD. Di saat bersamaan, pemerintah juga harus membagi anggaran untuk sektor lain seperti perekonomian masyarakat, bantuan usaha kecil, hingga layanan sosial dasar.

Untuk itu, ia menekankan pentingnya sinergi antara pengembang, pemerintah kota, dan calon penghuni atau konsumen rumah. Tujuannya adalah memastikan bahwa setiap rumah yang dibangun memenuhi standar kelayakan huni, termasuk tersedianya fasilitas umum yang memadai.

“Kita minta Perkim untuk memperketat proses pemberian izin, bukan untuk menghambat pembangunan, tapi agar kualitas hunian lebih terjamin. Jangan sampai keuntungan hanya dirasakan pengembang, sementara beban ditanggung pemerintah dan warga,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *