Simpulindo.com, Maluku – Kepulauan Aru di Provinsi Maluku kembali menunjukkan kepada dunia bahwa penjaga terbaik bagi pulau-pulau kecil bukanlah negara atau korporasi, melainkan masyarakat adat yang telah hidup turun-temurun di atasnya. Komitmen itu mendapat pengakuan internasional pada 30 Juni 2025, ketika Right Resources International (RRI) memberikan penghargaan kepada gerakan #SaveAru, yang diwakili dua tokoh masyarakat adat asal Aru, atas dedikasi mereka menjaga lingkungan dan sumber daya alam.
Penghargaan ini diserahkan di Kathmandu, Nepal pada pukul 18.00 waktu setempat. Right Resources International (RRI) pada tahun ini memilih #SaveAru sebagai gerakan yang memiliki pencapaian yang luar biasa dari seluruh Masyarakat Adat se-Asia, berdasarkan aksi kolektif yang telah dilakukan dalam menyoroti komitmen teguh terhadap mata pencaharian berkelanjutan, perlindungan alam dan pelestarian pengetahuan tradisional untuk generasi mendatang.
Kepulauan Aru sendiri merupakan gugusan lebih dari 832 pulau dengan luas daratan sekitar 800 ribu hektare. Lebih dari 75 persen wilayahnya masih berupa hutan alam yang menjadi penyangga utama kehidupan. Namun, wilayah adat ini tak pernah sepi dari ancaman. Sejumlah rencana konversi hutan untuk perkebunan, peternakan, hingga proyek perdagangan karbon terus menghantui.
“Wilayah adat kami terancam dikonversi menjadi kebun sawit, tebu, peternakan, bahkan proyek karbon yang tidak transparan,” kata Mika Ganobal, tokoh masyarakat adat Aru penerima penghargaan RRI, Selasa (1/7/2025).
Bagi masyarakat Aru, lanjut Mika, hutan dan laut bukan sekadar sumber daya ekonomi. Keduanya adalah ruang hidup sakral yang dijaga berdasarkan aturan adat, relasi spiritual, serta pengambilan keputusan kolektif, sehingga penting untuk di jaga.
“Dalam tradisi masyarakat adat Aru, setiap hutan, laut, dan daratan memiliki penanggung jawab adat. Hubungan antara manusia dan alam bukan sekadar pemanfaatan, tetapi saling jaga. Melalui struktur marga, rumpun, nata/fanugwa, dan sistem “mata belang” yang mengikat lintas wilayah, masyarakat adat menjaga ekosistem mereka dengan kearifan yang diwariskan turun-temurun,” ujarnya
Sementara itu, Ocha Gealogoy yang biasa disapa Mama Ocha turut mendapatkan penghargaan Right Resources International (RRI) sebagai salah seorang perwakilan perempuan adat dari Desa Marfefen, Kepulauan Aru.
Mama Ocha menganggap bahwa tanah merupakan warisan pencipta alam semesta kepada leluhur Aru. Perempuan adat pun menjadi bagian penting dalam perjuangan ini.
“Sebagai perempuan di Aru, hidup kami bergantung pada hutan dan laut. Kalau alam rusak, kami yang pertama merasakan dampaknya. Karena itu kami jaga, kami rawat,” tegas Mama Ocha
Mama Ocha menambahkan, kami bukan menolak pembangunan, kami hanya ingin dihormati. Hutan dan laut ini sudah kami jaga jauh sebelum negara ada. Tapi selama kami tak diakui, kami akan selalu rawan disingkirkan

Kepulauan Aru Dikepung Proyek Skala Besar
Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), mengungkapkan setidaknya ada empat gelombang besar proyek berbasis lahan yang telah dan tengah mengancam Kepulauan Aru. Mulai dari eksploitasi hutan dan perikanan pada dekade 1970-2000, rencana konversi 500 ribu hektare hutan menjadi perkebunan tebu oleh PT Menara Group pada 2007-2013, rencana peternakan sapi 65 ribu hektare oleh Jhonlin Group pada 2014-2021, hingga kini muncul izin baru perdagangan karbon seluas 192 ribu hektare oleh anak usaha Melchor Group serta reaktivasi izin PBPH-HA PT Wana Sejahtera Abadi seluas 54,5 ribu hektare.
Meski terus diterpa ancaman, masyarakat adat Aru tak tinggal diam. Melalui gerakan #SaveAru, mereka melakukan konsolidasi lintas kampung dan marga, menolak berbagai skema yang berpotensi merusak hutan dan laut. Bahkan pada periode sebelumnya, gerakan ini berhasil menggagalkan sejumlah rencana investasi berskala besar yang mengabaikan keberlanjutan ekosistem.
“Ketangguhan masyarakat adat Aru dalam menghadang gelombang ancaman ini adalah bukti nyata bahwa sistem pengetahuan dan tata kelola adat punya peran penting dalam menjaga kelestarian hutan dan laut,” kata Mufti.
Lebih lanjut FWI menekankan, apa yang dilakukan masyarakat adat Aru seharusnya mendapat dukungan negara.
“Tata kelola berbasis adat terbukti mampu melestarikan alam. Tapi tanpa pengakuan hukum, perjuangan mereka akan selalu rawan,” ujar Mufti.
FWI pun mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Menurutnya, pengesahan RUU tersebut bukan hanya bentuk penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, tetapi juga solusi nyata melindungi sisa-sisa hutan Indonesia yang kian tergerus.
“Pengakuan wilayah adat adalah langkah konkret untuk menjaga keberlanjutan lingkungan. Negara harus hadir sebagai pelayan masyarakat adat, bukan sebagai pemilik atau penguasa sumber daya,” tegas Mufti.
Masyarakat Adat Kepulauan Aru telah menunjukkan bahwa perlindungan hutan dan laut bisa dilakukan secara berkelanjutan melalui tata kelola adat yang hidup dan berjalan turun-temurun. Namun upaya mereka tidak akan cukup tanpa dukungan dan pengakuan negara.
Kami percaya, pemerintah memiliki peran penting untuk memperkuat perlindungan wilayah adat melalui kebijakan yang adil dan berpihak. Pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi langkah strategis dan historis untuk memastikan bahwa komunitas yang telah menjaga ruang hidupnya selama ratusan tahun, mendapat kepastian hukum dan perlindungan yang layak.