Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia: Sebuah Tinjauan Toleransi Dalam Perspektif Komunikasi Antar Budaya

Simpulindo.com, – Ketika Paus Fransiskus mencuci kaki 12 tahanan dari berbagai latar belakang agama di penjara Regina Coeli, Roma, pada peringatan Kamis Putih 2018, ia tidak sekadar melaksanakan ritual suci. Tindakan itu adalah simbol kuat dari kerendahan hati dan toleransi, sebuah pesan yang melampaui batas-batas agama dan budaya. Dalam imajinasi kita, bagaimana jika Paus mencuci kaki rakyat Indonesia, sebuah negara yang dikenal akan keberagaman budayanya? Dengan demikian, tindakan simbolis ini dapat diinterpretasikan sebagai bentuk komunikasi antar budaya yang mengedepankan toleransi.

Dalam konteks komunikasi antar budaya, toleransi adalah kemampuan untuk menerima dan memahami perbedaan nilai, norma, dan keyakinan yang ada di antara berbagai kelompok budaya. Indonesia, sebagai negara dengan lebih dari 1.300 suku bangsa dan ratusan bahasa daerah, menawarkan contoh konkret bagaimana komunikasi antar budaya berperan penting dalam menjaga harmoni sosial. Teori Komunikasi Antar Budaya Edward T. Hall menekankan pentingnya konteks dalam komunikasi. Indonesia, dengan budaya komunikasi berorientasi tinggi pada konteks (high-context culture), sering kali menyampaikan pesan melalui simbol dan gestur nonverbal yang mendalam, seperti tindakan Paus yang mencuci kaki tersebut.

Tindakan mencuci kaki dalam tradisi Kristiani adalah simbol kerendahan hati dan pelayanan kepada sesama. Dalam konteks Indonesia, simbolisme ini dapat dianalogikan dengan falsafah “gotong royong,” di mana setiap individu berperan aktif dalam membantu sesama tanpa memandang latar belakang. Jika dibawa ke ranah komunikasi antar budaya, tindakan ini adalah representasi dari konsep adaptasi budaya, di mana satu pihak berusaha memahami dan menyesuaikan diri dengan norma budaya pihak lain.

Dalam komunikasi antar budaya, konsep adaptasi ini bisa dikaitkan dengan Teori Adaptasi Budaya dari Young Yun Kim. Teori ini menyatakan bahwa proses adaptasi terjadi ketika individu dari satu budaya memasuki lingkungan budaya lain, berinteraksi, dan menginternalisasi norma-norma baru. Dalam skenario Paus mencuci kaki rakyat Indonesia, tindakan ini bukan hanya adaptasi, tetapi juga sebuah bentuk dialog simbolik yang melibatkan berbagai aspek budaya.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, Indonesia terdiri dari 87,2% Muslim, 6,9% Protestan, 2,9% Katolik, 1,7% Hindu, dan sisanya terdiri dari Buddha, Konghucu, serta kepercayaan lainnya. Keberagaman ini menunjukkan tantangan sekaligus potensi besar dalam mengimplementasikan toleransi. Sebuah survei yang dilakukan oleh Setara Institute pada tahun 2022 menunjukkan bahwa indeks toleransi di Indonesia mencapai 71,8, yang menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, angka ini masih perlu ditingkatkan, terutama di daerah-daerah yang rawan konflik.

Dalam skenario Paus mencuci kaki rakyat Indonesia, kita dapat melihat sebuah upaya untuk menegaskan pentingnya toleransi dalam konteks yang nyata. Data dari Pew Research Center (2019) juga menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat keragaman agama yang tinggi sering kali menghadapi tantangan dalam hal kohesi sosial. Tindakan simbolis seperti yang dilakukan Paus bisa menjadi katalis dalam memperkuat pesan toleransi dan saling menghormati di tengah keberagaman.

Berdasarkan asumsi Teori Akomodasi Komunikasi (Communication Accommodation Theory) yang dikembangkan oleh Howard Giles dapat digunakan untuk memahami bagaimana individu atau kelompok menyesuaikan cara berkomunikasi mereka agar lebih sesuai dengan pihak lain. Jika Paus Fransiskus benar-benar melakukan tindakan mencuci kaki di Indonesia, ini bisa dianggap sebagai bentuk penyesuaian komunikasi yang ekstrem, di mana ia menyesuaikan diri dengan norma-norma lokal untuk menyampaikan pesan universal tentang cinta dan toleransi.

Tindakan Paus mencuci kaki rakyat Indonesia juga bisa dianggap sebagai manifestasi dari Teori Toleransi Sosial, yang mengemukakan bahwa toleransi bukan hanya tentang menerima perbedaan, tetapi juga merangkul dan belajar dari perbedaan tersebut. Dalam sebuah masyarakat yang kompleks seperti Indonesia, di mana identitas agama sering kali bersinggungan dengan identitas etnis dan budaya, toleransi menjadi fondasi yang tidak bisa diabaikan.

Paus mencuci kaki rakyat Indonesia adalah sebuah pengandaian yang menggugah. Tindakan ini, meskipun hanya terjadi dalam imajinasi, menyiratkan pesan kuat tentang pentingnya toleransi dalam komunikasi antar budaya. Dalam dunia yang semakin terhubung namun terpecah belah, pesan-pesan simbolis seperti ini menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Dengan mengadopsi pendekatan ilmiah dalam memahami tindakan ini, kita dapat melihat bagaimana teori-teori komunikasi antar budaya dapat diaplikasikan dalam situasi nyata untuk menciptakan dialog yang lebih inklusif dan toleran. Pada akhirnya, toleransi bukan hanya tentang hidup berdampingan, tetapi juga tentang memahami dan menghormati kedalaman makna yang ada di balik setiap tindakan, setiap kata, dan setiap budaya.

Penulis : Wardoyo Dingkol

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *