Penulis: Abd. Firman Bunta
(Dosen Prodi PPKn, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)
Simpulindo.com, Gorontalo – Dunia telah menyaksikan kemunduran demokrasi dalam berbagai bentuk selama dekade terakhir. Lembaga-lembaga demokrasi memperlihatkan kehilangan kepercayaan publik, iklim kebebasan sipil mulai goyah, dan politik identitas kerap digunakan untuk melegitimasi kekuasaan.
Gagasan Democracy as the Last Line of Defense muncul sebagai kerangka konsep yang relevan untuk menafsir dinamika kemunduran demokrasi. Demokrasi dalam konteks ini tidak sebatas sistem politik semata, melainkan sebagai garis pertahanan untuk melindungi nilai-nilai sipil berdaya di hadapan negara.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai sarana pemberdayaan sipil memiliki peran strategis membentuk nalar publik, kesadaran politik, serta keberanian moral warga negara dalam menjaga demokrasi.
Kerapuhan Demokrasi
Kemunduran demokrasi saat ini nampak tidak lagi dibajak oleh fenomena kudeta militer, lazimnya berlaku sepanjang abad lalu. Sebaliknya, diretas dari dalam melalui manipulasi politik identitas, menipisnya hak-hak sipil, dan kekuatan oligarki mampu mengendalikan institusi negara.
Partai-partai sayap kanan di Eropa seperti National Rally di Prancis dan Fidesz di Hungaria, menandai fenomena yang mengancam demokrasi. Kebangkitan mereka menimbulkan kecemasan ekonomi serta ketakutan budaya yang justru mempersempit ruang demokrasi. Imigran diposisikan sebagai sumber masalah, media independen dibungkam, dan oposisi pun terpinggirkan dalam sistem yang terus menyebut dirinya “demokrasi” (Smolka, 2021).
Amerika Serikat sekalipun sebagai kampiun demokrasi menunjukkan kerentanan prosedural. Polarisasi politik yang ekstrem dan kepercayaan terhadap lembaga pemilu mulai rapuh. Peristiwa ini terjadi ketika literasi politik warga negara melemah yang pada gilirannya demokrasi dibajak oleh narasi konspirasi dan kekerasan politik. Keberadaan demokrasi hanya menampakan sisi formal yang minim terhadap penghormatan nilai-nilai substansi kebebasan, inklusivitas, dan penghormatan terhadap pluralisme sebagai agenda krusial (Levitsky & Ziblatt, 2018).
Sejumlah negara di Timur-Tengah mengalami stagnasi yang mencolok. Mesir, Suriah, dan Iran memperlihatkan wajah otoritarianisme modern. Teknologi pengawasan dan kekuatan militer masif digunakan untuk membungkam gerakan masyarakat sipil. Transisi politik selama Musim Semi Arab terjadi tidak berarti menyelamatkan praktik demokrasi. Kegagalan ini terjadi akibat minimnya dukungan warga negara mempertahankan ruang sipil yang deliberatif (Grgurevic, 2022).
Demokrasi Indonesia di Persimpangan Jalan
Demokrasi Indonesia kini berada dalam situasi paradoks. Secara prosedural masih berjalan, tetapi menghadapi penyusutan secara substansial. Rezim kepemimpinan terus dihasilkan lewat pemilu dan kebebasan media relatif terjaga.
Sayangnya, itu terjadi sebatas penampakan rutinitas yang sesungguhnya mengalami erosi dari dalam. Akar dari persoalan ini ketika oligarki tidak kehilangan momentum kekuasaan, melainkan memperlihatkan kapasitas adaptif terhadap perubahan struktur politik kontemporer.
Partai politik bekerja tanpa komitmen ideologis dan semata-mata berubah sebagai kendaraan elektoral yang cenderung mengikuti transaksi antar elite. Konsekuensinya, para pemimpin terpilih sangat ditentukan kemapanan pemilik kapital dan kekuatan jaringan patronase (Aspinall & Mietzner, 2019).
Polarisasi sosial semakin tajam turut menurunkan kualitas demokrasi. Mobilisasi identitas yang bernuansa agama dan etnis tetap mengemuka dalam ruang politik sehingga membelah masyarakat menjadi dua kelompok antagonistik bahkan saling menegasikan.
Polarisasi identitas tidak hanya menggerus kohesi sosial, juga meniadakan ruang deliberatif terbentuk secara inklusif. Sepanjang perbedaan pandangan politik direduksi menjadi narasi pembeda ‘kami versus mereka’, kapasitas demokrasi akan sulit menemukan titik temu kewargaan (Power & Warburton 2021).
Kondisi tersebut diperburuk oleh intervensi regulatif yang represif. Undang-undang ITE sering digunakan untuk menepis ekspresi kritis masyarakat sipil. Media sosial yang awalnya diyakini sebagai medium partisipasi publik justru mengalami disfungsi, menjadi medium banalitas informasi, manipulasi opini, dan ujaran kebencian.
Peran Strategis Pendidikan Kewarganegaraan
Ketika institusi demokrasi mengalami krisis legitimasi, kapasitas warga negara menjadi elemen penentu bagi keberlanjutan demokrasi. Disinilah peran strategis pendidikan kewarganegaraan untuk memfasilitasi demokrasi tetap bertahan.
Pendidikan kewarganegaraan tidak seharusnya direduksi menjadi transmisi norma belaka, melainkan menjadi instrumen transformasi pedagogis yang membangun kesadaran politik, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, serta menumbuhkan komitmen etis terhadap nilai-nilai demokrasi.
Beberapa penelitian menunjukkan disengagement politic di kalangan remaja dan pelajar semakin meluas di berbagai negara yang ditandai dengan menurunnya minat, kepercayaan, dan partisipasi dalam proses demokrasi.
Meskipun berada dalam sistem demokrasi yang mapan, orientasi generasi muda terhadap politik berkurang akibat kompleksitas masalah internal masing-masing negara seperti yang terjadi di Singapura, Afrika Selatan, maupun di sejumlah negara Eropa.
Fenomena ini sejalan dengan kebangkitan populisme, polarisasi, dan manipulasi politik identitas yang membajak proses demokrasi dari dalam. (Zhang, 2022; Ghazarian dkk, 2020; Matthieu & Junius, 2023).
Temuan penelitian di atas mengindikasikan bahwa kemunduran demokrasi kini relatif ditandai oleh proses erosif yang merayap dalam ruang kesadaran warga negara, bukan oleh disrupsi revolusioner yang mencolok.
Gagasan Demokrasi sebagai Garis Pertahanan Terakhir menegaskan dalam situasi krisis, warga negara merupakan aktor utama untuk mencegah kerapuhan demokrasi. Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan penting mengakomodasi pengembangan ketahanan kewarganegaraan, yaitu kemampuan warga negara menghormati prinsip-prinsip demokrasi.
Konsep ini sejalan dengan pendekatan kewarganegaraan yang berorientasi pada keadilan, di mana praktik pendidikan kewarganegaraan penting membuka ruang bagi siswa untuk memahami ketimpangan sosial, membaca relasi kekuasaan, serta memiliki keberanian menyuarakan perubahan (DeMink-Carthew dkk, 2023).
Kasus di sejumlah negara kini mulai menggeser pendidikan kewarganegaraan ke arah pendekatan yang deliberatif dan reflektif. Pendidikan kewarganegaraan di Kanada misalnya, menempatkan siswa sebagai agen perubahan. Mereka terlibat dalam simulasi debat parlemen, analisis kebijakan publik, dan proyek advokasi sosial sejak sekolah menengah. Siswa dilatih bukan lagi untuk memahami demokrasi, lebih menekankan peran protektif mereka selaku warga negara muda dalam membela, mempertahankan, dan menjaga integritas demokrasi saat mengalami ancaman (Popovic & Despotovic, 2018; Heliyon, 2023).
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pendidikan kewarganegaraan kurang kontekstual dan sepenuhnya didominasi negara. Kesannya sangat normatif yang menyebabkan isi kurikulum tidak banyak merespons isu-isu aktual, seperti ketimpangan, diskriminasi, maupun kekerasan negara. Akibatnya, siswa tidak terbiasa memahami realitas politik sebagai arena perebutan antar relasi kuasa. Sebaliknya, model ini justru menghasilkan warga negara yang pasif dan apolitis (Kalidjernih, 2005; Keren, 2022).
Jika demokrasi adalah garis pertahanan terakhir menghadapi krisis politik—otoritarianisme, ekstremisme, maupun oligarki, maka pendidikan kewarganegaraan merupakan proses sistematis dalam membangun kesadaran warga negara sebagai pertahanan aktif. Pendidikan kewarganegaraan bukan sebatas menarasikan hafalan nilai-nilai, melainkan praktek pembebasan yang menumbuhkan penalaran kritis, keterampilan partisipatif, dan komitmen moral terhadap keadilan.
Demokrasi bukanlah warisan, melainkan perjuangan tanpa akhir. Instrumen untuk memupuk semangat demokratis harus diawali dari ruang kelas. Dari sanalah generasi bersuara; bersikap menjadi warga negara yang baik; serta melampaui hak dan kewajibannya untuk berani bertindak melindungi nilai-nilai demokrasi. Itu sebabnya, pendidikan kewarganegaraan bukan hanya mata pelajaran, melainkan ruang perlawanan terhadap erosi demokrasi.
Tulisan ini lebih awal terbit di website fis.ung.ac.id dengan judul “Demokrasi sebagai Garis Pertahanan Terakhir: Peran Strategis Pendidikan Kewarganegaraan.”